Wet Dream
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
cw // mature content
cw // mature content
Cw // mature content, nsfw, explicit sexual intercourse
Please be wise!
Cw // mature content, nsfw, explicit sexual activity, harsh words.
Please be wise readers!
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
Tw // Horor
Jika ada orang-orang yang mengatakan bahwa memiliki indra keenam atau mata batin adalah sebuah keistimewaan, bagiku malah sebaliknya. Hal itu adalah sebuah malapetaka yang datang di hidupku. Terkadang aku merasa aku tidak bisa menikmati hari dimana jika setiap pagi aku ingin melihat matahari bersinar cerah, disertai burung-burung gereja yang bernyanyi di taman, melihat bunga warna-warni bermekaran di taman, dengan sekejap sirna saat aku melihat sosok lain yang menakutkan dengan sebelah wajahnya hancur, dan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh nanah serta belatung lewat begitu saja di hadapanku. Masih untung jika hanya lewat, biasanya setiap aku melewati trotoar di sisi jalan, gang dekat kampusku, atau jembatan gantung di jalan Melati, aku selalu dikejutkan dengan penampakan-penampakan dengan wujud mengerikan sedang menatapku heran atau bahkan ada juga yang sampai mengikutiku hingga ke kampus atau ke rumah.
Seperti halnya saat ini, kala aku mengantar Mentari ‘teman sekelasku’ pulang. Saat itu sudah hampir tengah malam, pukul sembilan lewat dua puluh menit aku mengantarkan Mentari menggunakan motor matic milikku hingga depan rumahnya, ketika aku melirik sekilas ke arah jendela rumahnya yang gelap aku melihat sosok pria jangkung dan tua, sedang berdiri menatapku dengan Mentari dari dalam dengan mata nyalang, alisnya bertaut dengan kumis hitam tebal yang hampir menutupi mulutnya. Kupikir saat itu sosok tua tersebut adalah ayah Mentari, namun ketika aku mencoba mencari validasi pada gadis itu, dan dijawab bahwa Ayahnya akan pulang di hari minggu, aku bergegas meminta Mentari untuk segera tidur dan mengunci semua pintu dan jendela rumahnya. Aku memikirkan Mentari hingga dua hari, sampai pada akhirnya aku mengantarkan gadis itu kembali di hari jumat dan sengaja mampir untuk masuk ke dalam rumahnya sebentar untuk memastikan sosok tua itu.
Aku berkeliling di rumahnya saat Mentari sedang membuatkan es teh untukku sebagai perjamuan, dan akhirnya aku bertemu dengan sosok yang aku cari di ruang belakang dekat dapur rumah Mentari. Aku hampiri sosok itu pelan-pelan, namun mata nyalang itu seketika menusuk netraku. Sejenak aku terpaku karena merasakan energi yang kuat saat di dekat pria tua itu. Dengan ragu aku mengeluarkan suara, “Maaf bukan mau ganggu, cuma mau tanya kamu siapa dan ngapain disini?” Dari dekat aku bisa melihat bahwa tangan kiri pria tua itu terputus hingga memperlihatkan tulang dan ususnya, seperti hancur. Juga ada lubang yang menembus pelipis kanannya seperti bekas tembakan. Pakaian yang dikenakan sosok pria itu juga terkesan kuno seperti seragam tentara belanda pada saat zaman penjajahan.
“Saya penghuni di sini.” Suaranya menggelegar saat menjawab pertanyaanku, bulu kudukku seketika dibuat berdiri, namun aku berusaha untuk terlihat setenang mungkin.
“Tidak jahat?” tanyaku pada sosok pria tua itu dengan nasa dibuat setenang mungkin dan memfokuskan tatapanku pada matanya. “Saya jaga.” Pria itu menjawab dengan cepat dan tegas, aku mengangguk mengerti kemudian menatap Mentari yang masih berkutat di dapurnya.
“Perempuan itu, jangan disakiti. Jangan di ganggu,” pintaku dengan tegas sambil menatap Mentari. Arah pandang sosok tua itu mengikuti tatapanku kemudian tersenyum penuh arti.
“Saya jaga rumah ini, berarti saya jaga juga perempuan kamu.” Seketika itu aku merasa tenang karena sosok yang berada di rumah Mentari bukanlah sosok yang jahat.
“Ngapain Bar?” Suara lembut Mentari mengagetkanku hingga aku tersentak, gadis dengan rambut panjang itu terkikik geli kemudian menyodorkan satu gelas es teh ke hadapanku. Aku menerimanya dengan senang hati sambil tersenyum, kemudian berjalan menuju ruang tamu dan mendudukkan diriku di salah satu sofa yang ada disana.
“Kenapa sih Bar, kayak gelisah gitu?” Satu pertanyaan sukses keluar dari mulut Mentari saat dia memperhatikanku seperti sedang gelisah.
“Gak apa, Tari. Eh lo laper gak sih? Makan yuk, lo lagi pengen apa?” tanyaku pada Mentari. Gadis itu tampak berpikir sambil menempelkan jari telunjuk pada dagunya.
“Pengen yang seger-seger Bar, bakso enak kali ya,” jawabnya. Aku bangkit dari sofa dan langsung menyetujui ajakannya dengan menarik lembut lengan Mentari keluar menuju motor matic milikku yang sedang terparkir di halaman rumahnya.
**
Sesampainya aku dan Mentari di Warung Bakso Pak Panjul, yang katanya sangat terkenal seantero kabupaten ini, mataku langsung menangkap sosok genderuwo yang sedang nangkring di atas meja, di antara para pengunjung yang sedang menikmati bakso yang mereka makan. Aku melihat air liur genderuwo itu menetes mengenai mangkuk yang berisi bakso dan sedang disuapkan ke dalam mulut para pengunjung itu. Aku bergidik dan hampir muntah saat melihat hal itu.
Nafsu makanku seketika menghilang saat aku memergoki pemilik bakso itu sedang memasukan sebuah celana dalam yang sangat kotor kedalam panci rebusan air bakso miliknya sambil mengaduk-aduk air rebusan itu, setelah itu mengambil air kuah bakso— yang sudah tercampur dengan segala kotoran dari celana dalam jelek itu, dan dimasukkan ke dalam mangkuk lalu disajikan kepada pelanggannya. Aku menutup mataku merasa ngeri sendiri, batinku mengucap beribu-ribu kalimat dzikir yang aku hafal guna menghilangkan rasa takutku.
Tak kusadari ternyata Mentari sudah menyebutkan pesanan kami pada salah satu pelayan disana, dan menarikku untuk mengambil tempat duduk di pojok kanan yang jauh dari kerumunan. Aku mengusap leherku merinding, tatapanku berpendar memperhatikan banyaknya mahluk-mahluk mengerikan di antara pengunjung yang sedang menikmati pesanannya, aku bergidik ngeri sekaligus mual.
Baru saja aku ingin mengatakan sesuatu pada Mentari, namun pesanan kita datang. Mentari terlihat sangat senang saat bakso kesukaannya kini berada di hadapannya. Matanya berbinar sambil bersiap memakan bakso yang sudah ia pesan, aku menahan tanganku, mencegah Mentari memakan bakso itu.
“Kenapa Bar? Gue laper banget nih.” Mentari melayangkan protes padaku saat aku menahan tangannya, aku menggigit bibir bawah ragu. Berpikir apa yang harus aku lakukan saat ini? Apakah aku harus memberitahukan secara gamblang kepada Mentari? Aku melihat salah satu genderuwo mengerikan itu siap mendatangi mejaku dan Mentari.
“Ehm, Tari. cek imess dari gue!” ucapku dengan nada berbisik, tangan kiriku segera meraih ponsel pada saku celanaku mengetikkan sesuatu yang sedari tadi aku ingin sampaikan pada Mentari. Ekspresi Mentari pada saat itu sama kagetnya dengaku, kemudian ia berdiri dna langsung menarikku untuk keluar, tak lupa ia memberikan uang satu lembar lima puluh ribuan di atas meja di sebelah dua mangkuk yang masih penuh berisi bakso.
*** Sudah terhitung sejak satu minggu Mentari tidak masuk kelas dengan alasan sakit, yang mana pada saat itu aku menduga ada sosok yang menempel pada tubuh Mentari sehingga bisa menyerap energi Mentari dan memberi beban pada tubuhnya.
Aku memutuskan untuk mengunjungi rumahnya, setelah sampai di teras rumahnya aku melihat halaman rumahnya dipenuhi oleh mobil-mobil besar yang berjejer rapi. Aku berpikir, oh, mungkin orang tuanya sudah datang.
Namun dugaanku tidak sepenuhnya benar, yang aku lihat memang orang tuanya yang baru saja landing dari Kairo, dan ternyata aku menangkap sosok bersorban seperti ustad sedang membacakan ayat-ayat suci pada Mentari.
Aku menduga bahwa Mentari seperti sedang terkena guna-guna. Pasalnya, aku melihat juga ada sosok perempuan yang mungkin adalah manusia, namun setelah aku menyadari bahwa besar sosok itu melebihi tinggi badan manusia aku langsung membuang jauh-jauh pikiran positifku.
Aku berjalan mendekati Mentari yang kondisinya sudah memprihatinkan, badannya sangat kurus, mata pandanya sangat tebal dan bibirnya sangat pucat, Mentari menatapku seakan meminta pertolongan namun tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Aku merasa prihatin melihat Mentari dengan kradaan seperti itu.
Aku juga melihat ada Banaspati yang mengelilingi tubuh Mentari dari atas. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri tegak, yang kutahu Banaspati adalah sesuatu yang gaib berbentuk bola api besar yang memiliki energi besar dan sulit sekali untuk dikalahkan bahkan dengan orang yang berilmu tinggi sekalipun. Kemudian aku menatap sedih Mentari yang sedang terdiam dengan mata terbuka lebar, badannya tiba-tiba menegang kaku dan matanya berubah jadi merah, bulu kudukku ikut meremang, jantungku berdetak hebat kala Banaspati itu semakin kencang mengelilingi tubuh Mentari yang tak berdaya. Lalu dengan berat hati aku berbalik arah menuju teras untuk bermaksud keluar lagi, aku menatap Mentari sekali lagi, tak tega rasanya melihat teman Perempuanku mengalami hal semacam ini, namun aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya orang yang memiliki kemampuan untuk melihat mahluk lain selain manusia dengan berbagai wujudnya, bukan orang yang bisa menyembuhkan segala sesuatu yang rusak karena campur tangan mahluk gaib.
“Maaf, Tari. Kali ini gue gak bisa bantu.”
—markablee.