He’s a Dominant But His Woman Is a Goddess
Cw // mature content, nsfw, explicit sexual intercourse
Please be wise!
Saya pernah bilang Vallerie bukan hanya mengambil hati tetapi juga merenggut kewarasan saya, pun sampai sekarang masih begitu.
Segala sesuatu mengenai dia, setiap inci bagian dalam dirinya membuat saya hilang kewarasan. Akal sehat saya hilang setiap kali saya menyentuh tiap lekuk indah tubuhnya, pun setiap saya dengar deru nafas dan lenguhannya kala saya bergerak di atasnya seketika membuat akal sehat saya merosot jatuh hingga hampir hilang.
Saya pikir Vallerie sangat candu sampai-sampai membuat saya menjadi pemain ulung dan memberikan predikat pada diri sendiri sebagai 'penjelajah unggul Vallerie'. Tiap inci, tiap lekuk, tiap bagian tubuh Vallerie sudah saya jelajahi. Saya seakan pengembara yang sedang menapaki jalan satapak indah dengan ribuan bunga dan dedaunan yang menimbulkan semerbak wangi hingga menusuk indra penciuman.
Tiap-tiap inci tubuh putih mulusnya tidak ada yang terlewat oleh segala indra saya. Saya menyentuhnya dengan rasa dan penuh cinta, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang candu. Seakan tidak ada yang lebih indah dari Vallerie, tidak ada aroma yang lebih adiksi daripada milik Vallerie.
Seringkali ego saya terpuaskan tatkala melihat napas perempuan kecintaan saya itu seakan tertahan di ujung kerongkongannya. Atau bahkan saat desah resahnya memenuhi gendang telinga, pun saat dadanya membusung tatkala saya berhasil menyentuh titik lemahnya di dalam sana. Ada rasa besar hati yang memenuhi maskulinitas saya.
Kendati saya merasa dominan terhadap tubuh Vallerie, saya hampir lupa jika perempuan di bawah saya bak jelmaan dewi manakala ia berhasil membalik keadaan. Saya dilumpuhkan tatkala ia berhasil membalik tubuhnya untuk berada di atas saya.
Saya terlumpuhkan.
Saya hampir lupa jika ada satu sihir tersendiri pada tubuh perempuan saya. Sentuhannya. Pernah pada waktu kapan tahu, sudah sedikit agak lama. Ketika saya dan Vallerie melakukannya untuk yang kedua kali, saya marah lantaran hasrat saya tidak bisa terpenuhi karena hal mendesak yang sangat konyol –setidaknya bagi saya sendiri–. Maka saya merajuk meninggalkan perempuan saya sendirian di kamarnya dengan berbagai macam pekerjaan sialan yang harus saya sebut sebagai pengganggu itu. Lantas saya meninggalkannya tak peduli dan terduduk di ruang tengah –di depan lukisan abstrak favoritnya— dengan rokok dan pemantik milik saya.
Alih-alih ingin marah berhari-hari, ego saya runtuh tak bersisa kala jemari lentik milik Vallerie menyapa tengkuk dan dada bidang saya seduktif sembari mulut manisnya melontarkan kata-kata sarat godaan yang sontak membuat tubuh saya meremang. Inilah yang saya sebut sebagai sihir. Vallerie berhasil menyihir diri saya hingga membuat saya seakan bertekuk lutut dengan sentuhan ringan bahkan suara rendahnya.
Seperti saat ini, saya kembali ditaklukan hanya dengan satu bisikan menggoda yang keluar dari bibir merah mudanya kala kami berdua sudah sama-sama polos tak berbalut apapun.
“Now, it's my turn.”
Saya mengerang tertahan manakala jemari lentik nan putih itu kembali menggerayangi tubuh dan tengkuk saya seduktif. Ia bahkan memainkan kalung perak milik saya dengan gerakan sensual. Saya mungkin bahkan sudah dibuat gila –untuk kesekian kalinya– kala birainya mengecup lembut labium saya dengan gerakan sedikit menuntut. Vallerie dengan birai merah muda dan segala sentuhan menggodanya berhasil membuat saya terpejam tak berdaya. Bahkan saat dirinya berhasil menduduki saya posesif serta lengannya yang tak henti mengusap tubuh saya penuh godaan.
“Stop Haidan. I said it’s my turn. Jadi nggak usah ngelakuin apapun. Let me ride you.”
Seakan hampir dibuat frustasi karenanya, saya mengerang tertahan manakala kedua tangan saya ditahan saat ingin membalas sentuhan yang ia buat pada tubuh saya. Vallerie menunduk, ia kecupi setiap inci bagian dari tubuh saya, ia bubuhi tanda kepemilikan di antaranya. Tak ada satupun bagian yang terlewat olehnya. Saya dibuat semakin frustasi tatkala jamahannya menjelajah tubuh saya semakin jauh hingga mencapai perut bagian bawah saya.
“Ah, Vallerie.”
Saya kalah telak.
Manakala saya mendongak dan melenguh frustasi saat tangan lentik itu menyentuh kejantanan saya dengan satu gerakan mengurut lembut.
“Every part of you is mine, Haidan. Also for this.”
Lenguhan nikmat tidak bisa terhindarkan kala Jemari lentik itu melingkar dan memberikan gerakan naik turun pada area saya, degup jantung saya berpacu cepat. Darah saya berdesir hebat dari ujung kaki menuju puncak kepala. Saya mendongak menahan segala kehendak berahi yang memuncak. Lengkum saya naik turun, berkali-kali saya menelan saliva membasahi kerongkongan yang seakan kering. Jemari saya meremat kain abu-abu tipis di sebelah tubuh saya, berusaha menyalurkan segala hasrat terpendam dalam diri.
“Uh, Vallerie you’re so—”
“You like it, huh?”
Saya hanya mengangguk. Bahkan sepatah kata pun tidak bisa keluar dari kerongkongan saya selain erangan nikmat yang membawa saya merasakan nikmat kotor duniawi.
Lantas saya tarik tengkuknya mendekat. Meraih birai merah muda yang sedari tadi tak berhenti senyum seakan mengejek saya, tetapi anehnya ego saya tidak terluka. Terus terang Vallerie memberikan tantangan baru pada maskulinitas saya. Saya sesap habis birai itu hingga gadis saya melenguh. Lidah saya menjulur masuk manakala ia terlihat lengah, saya habisi segala sesuatu yang ada di dalam. Saya invasi tiap-tiap bagian rongga mulutnya. Sesapan saya pada birai Vallerie semakin kencang tatkala ia menambah tempo jarinya pada kejantanan saya.
“Vallerie it’s almost, argh—”
Saya lepaskan cumbuan saya dan melenguh frustasi kala saya merasa sesuatu akan meledak dari dalam sana. Saya berharap Vallerie mempercepat temponya namun bukan itu yang saya dapatkan, justru saya melihat kepala gadis itu beringsut turun menuju pusaka saya. Bersiap seakan ingin memasukan kejantanan saya pada mulutnya.
“Stop Vallerie, No!”
Segera saya tarik ia untuk kembali berhadapan dengan mata saya. Ekspresinya berubah bahkan saat dirinya menatap manik mata tajam saya.
“What did you do?” Gadis itu terlihat sangat terkejut kala saya meneriakinya dengan menaikan satu oktaf nada bicara saya. Terus terang saya sangat terkejut.
Sudah saya bilang. Vallerie adalah yang saya puja-puja. Ia bak jelmaan dewi bagi saya. Tak akan saya biarkan mulut sucinya ternodai oleh hal yang paling najis dari bagian diri saya.
“Jangan, sayang. Jangan pakai mulut kamu. Itu kotor.”
Saya menekan segala kalimat yang keluar dari bibir saya. Saya tangkap kedua sisi rahangnya untuk menatap saya kala berbicara. Ekspresi Vallerie seakan terperanjat mendengar nada bicara saya. Dia melepas tangan saya pada rahangnya, menatap saya dengan tatapan sayu.
“Tapi Haidan, bukannya kamu suka?”
Lantas saya menggeleng cepat membantah asumsinya seraya berbisik pelan. “No, I don't like it. Your mouth is saintly. Don’t do that.”
“But, you did that with my hole.”
Saya kembali menggeleng, kemudian saya usap birainya perlahan.
“It’s different, Vallerie.”
Kemudian saya kecup birai merah muda miliknya, saya sesap perlahan menyalurkan segala cinta dan kasih sayang sebagai bentuk penghormatan untuknya. Sepersekian detik kemudian saya merasa salah karena terlalu keras padanya alih-alih memberitahunya dengan perlahan. Lantas saya lepaskan perlahan cumbuan itu dan kembali berbisik lembut pada telinganya.
“Bibir kamu cuma boleh ngerasain bibir aku, bukan yang lain.”
Vallerie adalah pujaan saya. Kekasih saya ini bak maharatu yang merajai tubuh saya hingga saya menghormati segala hal yang ada pada dirinya.
Vallerie lebih berharga daripada diri saya sendiri.
Saya sesap leher jenjang Vallerie lebih menuntut. Saya gigit gemas bak permen kesukaan saya. Kembali saya membisikan sesuatu yang memprovokasi egonya.
“Go on Vallerie, ride me.”
Saya lihat gadis itu tersenyum, ia raih satu bungkus lateks pengaman di sebelah laci kamar tidur, kemudian memasangkannya perlahan hingga melindungi kejantanan saya dengan tatapan yang tak ia lepaskan dari manik mata saya. Saya rasakan napas resah menembus bulu-bulu halus leher saya. Membuat bulu kuduk saya merinding seketika kala saya arahkan pusaka saya agar memasuki ‘rumahnya’. Vallerie mencengkram bahu saya kencang tatkala milik saya berhasil menerobos masuk pada inti tubuhnya.
Saya bersembunyi pada lekukan leher gadis kecintaan saya. Napas saya memburu, menerpa kulit mulus leher Vallerie yang sesekali saya kecup dan sesap dengan kuat hingga menimbulkan bercak merah keunguan disana. Saya raih pinggul polos Vallerie dengan kedua tangan agar semakin merapat pada tubuh saya.
Vallerie benar-benar membuat saya di ambang kewarasan.
Vallerie mulai bergerak naik turun di atas saya. Terkadang napasnya terengah, saya pun demikian. Lantas tangan saya tidak tinggal diam. Dengan perlahan mulai jelajahi segala inci tubuh bak adiksi bagi saya. Saya jatuhkan jemari saya pada ukiran biru muda di antara dadanya. Kesukaan saya. Setiap kali kami berdua bercinta, saya tidak pernah absen untuk memuji ukiran indah itu dengan sentuhan seduktif jemari saya.
“Uhm, Vallerie I suddenly think of Ariana's song right now,” ucap saya.
Jika ditanya apa yang lebih indah dari seorang Vallerie? Jawabannya tidak ada. Sekalipun ada bunga yang kata orang adalah paling indah di muka bumi, maka tidak bagi saya. Vallerie adalah yang paling indah. Dia definisi indah itu sendiri.
“Which song?”
Gadis saya menjawab tanpa menghentikan gerakannya di bawah sana, terkadang ia menyugar surai panjangnya saat dirasa menghalangi wajah cantiknya. Saya memejam, tempo konstan serta ekspresi menggodanya membuat gairah dalam tubuh kembali memuncak. Vallerie bergerak sembari melenguhkan desahnya dengan kepala yang terkadang mendongak seakan menikmati setiap pergerakan yang ia buat sendiri. Tangannya yang masih setia pada pundak saya sesekali mencengkramnya kuat saat ia rasa pergerakannya menyentuh titik sensitif yang ada di dalam sana.
“God is a woman.“
“You’re the representation of it. You’re a goddess.”
Vallerie tersipu malu di tengah gerakannya. Ia raih rahang saya dengan kedua tangannya mengelusnya pelan kemudian mengecup birai saya lembut. Berusaha menyembunyikan salah tingkahnya.
Setiap kali labium kami bergesekan saya merasa sedang menyesap madu termanis di muka bumi.
Tidak ada yang paling manis selain labium merah muda milik Vallerie.
Gadis itu lantas menghentikan cumbuannya, ia menatap saya dengan senyum menggoda. Tanpa ia hentikan gerakan konstan di bawah sana, sesekali dirinya menyugar Surai panjangnya yang di rasa mengganggu segala aktivitasnya. Saya kembali mengusap rahang Vallerie pelan sambil memuja dari dalam hati betapa gadis di pangkuan saya ini terlihat sangatlah atraktif.
“I'm also think of one of Ariana's song.“
Alis saya menukik, di antara lenguhan saya menjawab pernyataan gadis kecintaan saya itu.
“Hm, what?“
Tiba-tiba saja Vallerie merubah gerakannya, ia lakukan gerakan memutar sesekali menghentak di dalam sana. Saya mengerang frustasi, merasakan pusaka saya serasa di jepit dan di urut oleh dinding-dinding vulva milik Vallerie. Saking nikmatnya saya seakan tidak bisa merasakan nikmat apapun di dunia selain yang ditimbulkan oleh Vallerie.
“Ah, Vall ....“
“Everyting part of you, every something about you makes me feel I'm a dangerous woman for real.“
“You are, sayang. You're really dangerous.“
Kami terkekeh bersama. Lantas saya raih pinggangnya untuk bergerak lebih. Gadis itu seakan mengerti, ia naikkan tempo geraknya hingga membuat saya seakan benar-benar dibuat bertekuk lutut di hadapannya.
Jika saya adalah tirani, maka Vallerie adalah prameswari.
“You love it, huh?”
Ia bertanya di antara lenguh manjanya. Saya hanya mengangguk dengan mata terpejam sembari kedua tangan saya masih membantu dirinya untuk lebih menaikan tempo geraknya.
“If you love it, Haidan— you’ll believe that God really is a woman.”
Lantas bersamaan dengan mengakhiri kalimatnya, maka saya semakin meyakini hal itu kala Vallerie menaikan temponya sangat cepat dan brutal hingga membuat napas saya terengah sampai terputus-putus. Pun begitu dengan keadaan gadis yang sedang bekerja keras menjemput pelepasannya. Penampilannya kini sudah berantakan namun bagi saya justru malah menambah kesan menggoda dalam dirinya.
Vallerie adalah prameswari. Penguasa akan tubuh saya.
“I already see it, you make me crazy now Vallerie, uh.”
“Ah, Haidan, my love.”
“My pretty dangerous Vallerie, my goddess— ah, it’s coming.”
“Please … please … hold on, I'm close too.”
Dengan gerakan membabi buta saya dibuat melayang. Gadis itu seakan tak kenal lelah untuk melepas hasratnya yang membuncah, ia gerakan pinggulnya keras pun dengan sedikit bantuan saya dari arah berlawanan. Lenguhan kami semakin terdengar memenuhi sudut ruangan manakala pelepasan kami bak sudah di ujung tanduk.
“Oh God, Vallerie ….”
Lekum saya bergerak naik turun seraya menyebut namanya berulang-ulang di antara lenguh resah yang keluar dari mulut saya. Pun bahkan sampai pada hentakan ketiga dari kami saya masih menyebut namanya berulang bak sebuah mantra. Perasaan lega saya rasakan bersamaan dengan cairan hangat yang keluar dan mengalir di sela-sela paha kami. Vallerie tertunduk lemas pada bahu saya. Saya tangkap tubuhnya dan segera membaringkannya pada tempat tidur dengan kain sprei abu-abu milik saya. Mata saya kami saling bertatapan. Saya melihat Vallerie tersenyum, ia usap peluh yang menetes pada dahi saya dan sesekali mengecup birai saya singkat.
“I love you.”
Saya ucapkan satu kata ajaib andalan saya setiap sesi bercinta kami berakhir. Vallerie selalu tersenyum hangat tiap mendengar tiga kata itu keluar dari bibir saya. Ia pasti akan mengecup bibir saya dengan singkat sebelum menjawab pernyataan saya.
“I love you too.” Ia memainkan surai hitam kecoklatan milik saya dan menyugarnya kebelakang.
“Rambutnya udah panjang,” ucapnya. Saya lantas tersenyum menanggapi pernyataannya.
“Cukur atau jangan?” Kekasih saya itu lantas menggeleng jahil, jemarinya masih memainkan rambut saya sesekali meremasnya pelan.
“Jangan. Nanti nggak bisa dimainin kayak gini lagi kalo aku lagi di atas.”
Jika saya boleh kata, tidak ada satu perempuan pun yang berhasil taklukan saya seberhasil Vallerie. Tidak ada satu perempuan pun yang berhasil merenggut kewarasan saya sebegininya daripada Vallerie.
Jika dulu saya puas memuja Vallerie hanya dalam diam. Maka saat ini pun begitu. Biarkan saja saya menjadi satu-satunya pemuja Vallerie. Katakanlah saya adalah seorang posesif, takkan saya biarkan satu orang pun tahu bagaimana luar biasanya gadis kecintaan saya ini. Takkan saya biarkan satu orang pun mengetahui sisi lain bak dewi milik gadis saya.
Katakanlah saya egois karena hanya ingin Vallerie untuk saya seorang. Vallerie milik saya, tidak boleh satu orang pun memilikinya selain saya.
Vallerie adalah maharatu.
Vallerie adalah prameswari.
Written by. markablee