The Cat Girl
tentang Tian si pecinta kucing yang memiliki lima ekor kucing di rumahnya yang ia beri nama Jio, Lulu, Chiko, Leon, dan Louis. Saking cintanya ia pada kucing-kucingnya, ia bahkan rela menyisihkan empat puluh persen uang sakunya untuk semua keperluan anak-anaknya itu. Rumahnya bahkan dipenuhi oleh segala perlengkapan dan mainan kucing-kucingnya. Bahkan sampai terlihat sangat tidak tertata dan berantakan, namun Tian tidak ambil pusing. Dia bisa menyewa housekeeping kapanpun ia mau untuk membersihkan rumahnya, dan dia hanya tinggal duduk manis bersama kucing-kucingnya sambil menunggu kediamannya dibersihkan.
Miaw… miaw…
Tampak Leon dan Jio mengahmpiri Tian yang sedang membereskan tempat tidurnya, dan langsung naik ke atas ranjang menatao Tian dengan tatapan penuh harap. “Kenapa Leon, Jio. Laper?” Tian bertanya pada kucing-kucingnya yang kemudian dibalas dengan mengeong kembali, namun kali ini lebih bersemangat. Ternyata memang benar mereka berdua sudah lapar.
Tian berjalan menuju dapur mengambil whiskas rasa tuna kesukaan mereka. Namun ternyata makanan mereka sudah habis. “Yah, abis ternyata. Aku beli dulu deh, kalian tunggu dulu disini ya.” Tian bermonolog sebelum akhirnya melenggang keluar dari dapurnya untuk mengambil hoodie dan payungnya untuk segera pergi ke supermarket di depan kompleksnya. Sebenarnya, Tian sedang berada dalam mood ingin rebahan dan tidak mau pergi kemana-mana, karena diluar sedang gerimis. Sisa-sisa hujan sore tadi masih turun membasahi bumi, namun berhubung anak-anaknya ini sudah kelaparan dan makanan mereka ternyata sudah habis, mau tidak mau Tian harus terpaksa keluar.
Di bawah naungan payung yang melindungi kepalanya dari gerimis sisa-sisa hujan sore tadi, Tian berjalan pelan menuju rumahnya dengan menenteng sekantong makanan kucing yang barusan ia beli.
Tian semakin memelankan langkahnya ketika ia telah sampai pada pertigaan menuju rumahnya, karena melihat seorang gadis yang sedang terduduk yang masih lengkap dengan seragam sekolah dan hoodienya. Samar-samar Tian memperhatikan bahwa gadis itu sedang memberi makan anak kucing kecil berwarna oranye. Tian merasa tertarik kemudian berjalan mendekati gadis kecil itu.
“Lagi ngapain?” Gadis itu terlonjak saat mendengar sapaan Tian yang sudah berdiri tepat di belakangnya dengan payung yang sudah berada di atas kepalanya. “Eh.” Gadis itu menoleh spontan dan menatap Tian dengan tatapan heran, lalu berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan Tian, meskipun tubuhnya masih terlihat lebih pendek dibandingkan dengan Tian.
“Gue ngagetin ya? Sorry.” Tian kembali berucap, lantas gadis itu tersenyum ke arah Tian.
“Iya, gak papa. Agak kaget sih tadi, aku pikir hantu.” Jawaban gadis itu membuat Tian spontan terkekeh, lucu.
“Emang tadi lagi ngapain?” Tian dengan sengaja mengulangi kata-katanya, gadis itu menoleh ke arah kucing kecil berwarna oranye yang masih menikmati makanan kalengnya. “Ngasih makan kucing kecil, kasian dia kelaparan.” Tian lagi-lagi terkekeh, gaya bicara gadis itu sangat lucu dan menggemaskan, kebetulan. Membuat Tian ingin sekali mencubit pipinya.
“Lo emang sering kayak gini ya? Maksudnya ngasih makan kucing liar malem-malem. Soalnya beberapa kali gue kayaknya pernah liat lo di kompleks ini.” Gadis itu tersenyum senang karena perkataan Tian, kemudian mengangguk semangat. “Iya kak, tiap aku pulang les pasti ada kucing kecil yang nyamperin tapi aku lagi gak bawa makanan, aku suka kasihan makanya akhir-akhir ini aku sengaja beli makanan kaleng buat mereka.” Gadis ini menjawab dengan antusias, Tian kembali tersenyum.
“Oh iya, gue Tian, lo?” Tian menjulurkan tangannya bermaksud untuk mengajak kenalan gadis didepannya ini. “Aku, Karina kak salam kenal,” jawabnya ramah sambil membalas uluran tangan Tian.
“Mau pulang? Gue anter sekalian ya?” Ini bukan hanya sekedar basa-basi bagi Tian, namun laki-laki itu memang tulus ingin mengantar Karina pulang, karena hari sudah mulai gelap dan gerimis masih turun ke bumi.
“Gak papa kak?” cicit Karina tak enak. Tian membalas dengan gelengan dan berkata, “Gak papa dong, rumah lo di sekitar sini kan? Lagian ini masih gerimis kasian kalo lo hujan-hujanan.” Lama tampak berpikir, Karina akhirnya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban setuju atas tawaran Tian. Kemudian mereka berjalan beriringan dalam satu naungan payung yang sama.
“Lo kelas berapa?” Lagi-lagi Tian memulai obrolan di antara mereka.
“Dua belas kak, di SMA Neo,” jawab Karina. “Lo emang suka kucing?” Gadis itu mengangguk riang saat Tian menanyakan suatu hal mengenai kucing.
“Suka banget kak, aku punya banyak kucing di rumah.” Karina menjawab dengan semangat dan menggebu-gebu, bagi Tian sangat menggemaskan.
“Oh iya? Gue juga punya kucing di rumah.” Tian menjawab sekenanya, binar mata Karina terlihat kemudian ia melanjutkan kalimatnya.
“Wah ternyata sama ya kita. Oh iya kakak mau mampir gak? Buat liat kucing-kucing aku.” Tian tampak berpikir sejenak, apakah ia harus menerima tawaran Karina atau tidak, pasalnya hari sudah gelap dan tidak enak bertamu disaat malam seperti ini.
“Gak papa?” Tian malah balik bertanya dan dihadiahi anggukan antusias dari Karina. “Gak papa. Aku di rumah sendirian kok lagian, mama papa ku di luar kota.”
Tian lalu tersenyum dan mengangguk senang menyetujui tawaran dari Karina. Karina bersorak gembira dan berjalan dengan perasaan riang karena Tian akan melihat kucing-kucing di rumahnya.
***
Mereka kini telah sampai pada rumah dengan desain klasik bernuansa putih dan pagar kecil di depannya. Rumah minimalis yang sangat cocok dengan vibes Karina, entah kenapa tiba-tiba saja Tian berpikir seperti itu.
“Masuk kak,” ucap Karina menawarkan Tian untuk masuk. Kemudian Tian masuk sambil memperhatikan sekelilingnya. Rumah Karina ternyata ada di ujung kompleks, pantas saja Tian tidak tahu bahwa Karina adalah anak kompleks ini, karena rumah mereka sangat berjauhan. Rumah Tian berada di depan kompleks dan rumah Karina justru di belakang kompleks.
Rumah itu tampak sepi, karena dihuni oleh Karina seorang, pikirnya. Lalu pada saat mereka memasuki ruang tengah rumah Karina, Tian agak dikejutkan dengan beberapa kucing yang tidak memiliki kaki depan dan tidak bisa berjalan. Tian takjub karena Karina tetap merawat kucing-kucingnya sekalipun mereka sudah tidak sempurna lagi.
“Kucing kamu ada yang disabilitas juga?” Tian mulai bertanya pada Karina, dan dijawab dengan anggukan oleh Karina. “Keren,” gumam Tian takjub. Karina terkekeh mendengar pujian Tian.
“Hehe mau gimana ya kak, kalo gak nakal mereka gak akan jadi seperti itu.” Karina berucap sambil memandangi kucing-kucingnya yang tak bisa berjalan dan hanya bisa duduk diam sambil mengeong di lantai ruang tengahnya, Tian tampak berpikir karena perkataan Karina yang agak mengganjal di benaknya.
“Kak mau minum apa?” tawar Karina pada Tian yang di balas oleh gelengan Tian. “Gak usah repot-repot, mau cepet aja kok,” jawab Tian lembut. Karina ber-oh ria dan mengangguk pertanda mengerti.
Saat mereka sedang asik mengobrol, dua kucing berwarna abu-abu Karina berlari-lari kecil hingga beberapa kali menubruk kaki Karina, Tian merasa gemas kemudian dia terkekeh.
“Ish, kamu tuh bisa gak sih gak usah lari-lari?” Tanpa terduga oleh Tian, Karina mengomeli kucingnya yang sedang berlari-lari itu.
“Huh, aku tuh gak suka deh sama kucing yang sering lari-lari gitu.” dengus Karina.
“Loh kenapa? Lucu gitu kok.” Tian menatap heran Karina, gadis itu masih mengerutkan dahinya tanda tak suka. Kemudian dia tiba-tiba beranjak dari duduknya dan pergi menuju dapur, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah pisau berwarna putih dengan noda merah di atasnya, yang Tian tidak tahu bekas apa warna kemerahan itu.
Alis Tian mengernyit menatap heran menatap Karina. “Itu buat apa?” tanya Tian pada Karina.
Gadis itu terkekeh tidak menghiraukan perkataan Tian, namun tangannya terangkat mengambil kucing-kucing yang sedang berlari tadi dan menatapnya dengan seringai tipis.
“Kak Tian, aku tuh gak suka kucing yang suka lari-lari, ganggu. Jadi karena kamu udah ganggu aku, aku kasih kamu hukuman. Hukumannya kamu ga boleh lari lagi.” Kemudian Karina mengangkat pisau kotor itu tinggi-tinggi dan mengarahkannya pada kedua kaki kucing abu-abunya.
—markablee