Markablee

tentang Tian si pecinta kucing yang memiliki lima ekor kucing di rumahnya yang ia beri nama Jio, Lulu, Chiko, Leon, dan Louis. Saking cintanya ia pada kucing-kucingnya, ia bahkan rela menyisihkan empat puluh persen uang sakunya untuk semua keperluan anak-anaknya itu. Rumahnya bahkan dipenuhi oleh segala perlengkapan dan mainan kucing-kucingnya. Bahkan sampai terlihat sangat tidak tertata dan berantakan, namun Tian tidak ambil pusing. Dia bisa menyewa housekeeping kapanpun ia mau untuk membersihkan rumahnya, dan dia hanya tinggal duduk manis bersama kucing-kucingnya sambil menunggu kediamannya dibersihkan.

Miaw… miaw…

Tampak Leon dan Jio mengahmpiri Tian yang sedang membereskan tempat tidurnya, dan langsung naik ke atas ranjang menatao Tian dengan tatapan penuh harap. “Kenapa Leon, Jio. Laper?” Tian bertanya pada kucing-kucingnya yang kemudian dibalas dengan mengeong kembali, namun kali ini lebih bersemangat. Ternyata memang benar mereka berdua sudah lapar.

Tian berjalan menuju dapur mengambil whiskas rasa tuna kesukaan mereka. Namun ternyata makanan mereka sudah habis. “Yah, abis ternyata. Aku beli dulu deh, kalian tunggu dulu disini ya.” Tian bermonolog sebelum akhirnya melenggang keluar dari dapurnya untuk mengambil hoodie dan payungnya untuk segera pergi ke supermarket di depan kompleksnya. Sebenarnya, Tian sedang berada dalam mood ingin rebahan dan tidak mau pergi kemana-mana, karena diluar sedang gerimis. Sisa-sisa hujan sore tadi masih turun membasahi bumi, namun berhubung anak-anaknya ini sudah kelaparan dan makanan mereka ternyata sudah habis, mau tidak mau Tian harus terpaksa keluar.

Di bawah naungan payung yang melindungi kepalanya dari gerimis sisa-sisa hujan sore tadi, Tian berjalan pelan menuju rumahnya dengan menenteng sekantong makanan kucing yang barusan ia beli.

Tian semakin memelankan langkahnya ketika ia telah sampai pada pertigaan menuju rumahnya, karena melihat seorang gadis yang sedang terduduk yang masih lengkap dengan seragam sekolah dan hoodienya. Samar-samar Tian memperhatikan bahwa gadis itu sedang memberi makan anak kucing kecil berwarna oranye. Tian merasa tertarik kemudian berjalan mendekati gadis kecil itu.

“Lagi ngapain?” Gadis itu terlonjak saat mendengar sapaan Tian yang sudah berdiri tepat di belakangnya dengan payung yang sudah berada di atas kepalanya. “Eh.” Gadis itu menoleh spontan dan menatap Tian dengan tatapan heran, lalu berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan Tian, meskipun tubuhnya masih terlihat lebih pendek dibandingkan dengan Tian.

“Gue ngagetin ya? Sorry.” Tian kembali berucap, lantas gadis itu tersenyum ke arah Tian.

“Iya, gak papa. Agak kaget sih tadi, aku pikir hantu.” Jawaban gadis itu membuat Tian spontan terkekeh, lucu.

“Emang tadi lagi ngapain?” Tian dengan sengaja mengulangi kata-katanya, gadis itu menoleh ke arah kucing kecil berwarna oranye yang masih menikmati makanan kalengnya. “Ngasih makan kucing kecil, kasian dia kelaparan.” Tian lagi-lagi terkekeh, gaya bicara gadis itu sangat lucu dan menggemaskan, kebetulan. Membuat Tian ingin sekali mencubit pipinya.

“Lo emang sering kayak gini ya? Maksudnya ngasih makan kucing liar malem-malem. Soalnya beberapa kali gue kayaknya pernah liat lo di kompleks ini.” Gadis itu tersenyum senang karena perkataan Tian, kemudian mengangguk semangat. “Iya kak, tiap aku pulang les pasti ada kucing kecil yang nyamperin tapi aku lagi gak bawa makanan, aku suka kasihan makanya akhir-akhir ini aku sengaja beli makanan kaleng buat mereka.” Gadis ini menjawab dengan antusias, Tian kembali tersenyum.

“Oh iya, gue Tian, lo?” Tian menjulurkan tangannya bermaksud untuk mengajak kenalan gadis didepannya ini. “Aku, Karina kak salam kenal,” jawabnya ramah sambil membalas uluran tangan Tian.

“Mau pulang? Gue anter sekalian ya?” Ini bukan hanya sekedar basa-basi bagi Tian, namun laki-laki itu memang tulus ingin mengantar Karina pulang, karena hari sudah mulai gelap dan gerimis masih turun ke bumi.

“Gak papa kak?” cicit Karina tak enak. Tian membalas dengan gelengan dan berkata, “Gak papa dong, rumah lo di sekitar sini kan? Lagian ini masih gerimis kasian kalo lo hujan-hujanan.” Lama tampak berpikir, Karina akhirnya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban setuju atas tawaran Tian. Kemudian mereka berjalan beriringan dalam satu naungan payung yang sama.

“Lo kelas berapa?” Lagi-lagi Tian memulai obrolan di antara mereka.

“Dua belas kak, di SMA Neo,” jawab Karina. “Lo emang suka kucing?” Gadis itu mengangguk riang saat Tian menanyakan suatu hal mengenai kucing.

“Suka banget kak, aku punya banyak kucing di rumah.” Karina menjawab dengan semangat dan menggebu-gebu, bagi Tian sangat menggemaskan.

“Oh iya? Gue juga punya kucing di rumah.” Tian menjawab sekenanya, binar mata Karina terlihat kemudian ia melanjutkan kalimatnya.

“Wah ternyata sama ya kita. Oh iya kakak mau mampir gak? Buat liat kucing-kucing aku.” Tian tampak berpikir sejenak, apakah ia harus menerima tawaran Karina atau tidak, pasalnya hari sudah gelap dan tidak enak bertamu disaat malam seperti ini.

“Gak papa?” Tian malah balik bertanya dan dihadiahi anggukan antusias dari Karina. “Gak papa. Aku di rumah sendirian kok lagian, mama papa ku di luar kota.”

Tian lalu tersenyum dan mengangguk senang menyetujui tawaran dari Karina. Karina bersorak gembira dan berjalan dengan perasaan riang karena Tian akan melihat kucing-kucing di rumahnya.

***

Mereka kini telah sampai pada rumah dengan desain klasik bernuansa putih dan pagar kecil di depannya. Rumah minimalis yang sangat cocok dengan vibes Karina, entah kenapa tiba-tiba saja Tian berpikir seperti itu.

“Masuk kak,” ucap Karina menawarkan Tian untuk masuk. Kemudian Tian masuk sambil memperhatikan sekelilingnya. Rumah Karina ternyata ada di ujung kompleks, pantas saja Tian tidak tahu bahwa Karina adalah anak kompleks ini, karena rumah mereka sangat berjauhan. Rumah Tian berada di depan kompleks dan rumah Karina justru di belakang kompleks.

Rumah itu tampak sepi, karena dihuni oleh Karina seorang, pikirnya. Lalu pada saat mereka memasuki ruang tengah rumah Karina, Tian agak dikejutkan dengan beberapa kucing yang tidak memiliki kaki depan dan tidak bisa berjalan. Tian takjub karena Karina tetap merawat kucing-kucingnya sekalipun mereka sudah tidak sempurna lagi.

“Kucing kamu ada yang disabilitas juga?” Tian mulai bertanya pada Karina, dan dijawab dengan anggukan oleh Karina. “Keren,” gumam Tian takjub. Karina terkekeh mendengar pujian Tian.

“Hehe mau gimana ya kak, kalo gak nakal mereka gak akan jadi seperti itu.” Karina berucap sambil memandangi kucing-kucingnya yang tak bisa berjalan dan hanya bisa duduk diam sambil mengeong di lantai ruang tengahnya, Tian tampak berpikir karena perkataan Karina yang agak mengganjal di benaknya.

“Kak mau minum apa?” tawar Karina pada Tian yang di balas oleh gelengan Tian. “Gak usah repot-repot, mau cepet aja kok,” jawab Tian lembut. Karina ber-oh ria dan mengangguk pertanda mengerti.

Saat mereka sedang asik mengobrol, dua kucing berwarna abu-abu Karina berlari-lari kecil hingga beberapa kali menubruk kaki Karina, Tian merasa gemas kemudian dia terkekeh.

“Ish, kamu tuh bisa gak sih gak usah lari-lari?” Tanpa terduga oleh Tian, Karina mengomeli kucingnya yang sedang berlari-lari itu.

“Huh, aku tuh gak suka deh sama kucing yang sering lari-lari gitu.” dengus Karina.

“Loh kenapa? Lucu gitu kok.” Tian menatap heran Karina, gadis itu masih mengerutkan dahinya tanda tak suka. Kemudian dia tiba-tiba beranjak dari duduknya dan pergi menuju dapur, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah pisau berwarna putih dengan noda merah di atasnya, yang Tian tidak tahu bekas apa warna kemerahan itu.

Alis Tian mengernyit menatap heran menatap Karina. “Itu buat apa?” tanya Tian pada Karina.

Gadis itu terkekeh tidak menghiraukan perkataan Tian, namun tangannya terangkat mengambil kucing-kucing yang sedang berlari tadi dan menatapnya dengan seringai tipis.

“Kak Tian, aku tuh gak suka kucing yang suka lari-lari, ganggu. Jadi karena kamu udah ganggu aku, aku kasih kamu hukuman. Hukumannya kamu ga boleh lari lagi.” Kemudian Karina mengangkat pisau kotor itu tinggi-tinggi dan mengarahkannya pada kedua kaki kucing abu-abunya.

—markablee

Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah jendela lebar kelas 12-A. Kamu menatap papan tulis di depanmu dengan mata menerawang dan bibir sedikit dimajukan serta wajah kesal. Beberapa menit setelah kembali dari ruang guru akibat dimarahi oleh Pak Burhan, karena tidak menyampaikan amanahnya untuk teman sekelas agar mengerjakan latihan soal fisika di halaman empat puluh tiga karena lupa, kamu hanya bisa duduk terdiam dengan wajah ditekuk tujuh lipat. Matamu nyalang menatap siapa saja yang ingin menegurmu dengan tatapan kesal dan tak bersahabat. Hingga membuat siswa-siswi yang menatapmu bergidik ngeri seakan sedang menatap seekor singa betina yang sedang mencari mangsanya.

Dug

Ekhem Tiba-tiba seseorang mengetuk mejamu dan berdehem membuatmu terperanjat kaget, lalu tiba-tiba saja kamu tersenyum kikuk ketika mengetahui siapa pelakunya.

“Eh, Jinan hehe…” kamu menyapa Jinan dengan kekehan canggung, lebih canggung lagi ketika kamu menyadari bahwa laki-laki jangkung itu tiba-tiba mengambil tempat duduk disebelahmu.

“Ngelamun aja.” Suara berat Jinan menginterupsi. Kamu menggaruk kepalamu yang tidak gatal kemudian mengedarkan pandangan ke arah manapun, kecuali pada mata Jinan. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja didekati dan diajak ngobrol oleh gebetan adalah hal yang sama sekali tidak pernah kamu bayangkan bahkan sampai saat ini.

“Abis dimarahin Pak Burhan ya?” Kau mendengus kesal, dan menghembuskan nafas pasrah lalu kemudian mengangguk dan menunduk.

“Sabar ya, nih buat kamu.” Tiba-tiba saja tangan Jinan terulur memberikan Ultra Milk rasa stroberi kesukaanmu. Kamu terhenyak dan terdiam sebentar, berusaha mencerna maksud dari perlakuan Jinan hari ini padamu.

“Maksudnya buat apa Ji?” tanyamu heran. Jinan hanya bisa tersenyum memamerkan giginya lucu.

“Biar moodnya naik lagi. Sabar ya bukan salah kamu lagian. Pak Burhan juga bilang ada tugasnya dadakan, dua puluh menit sebelum kelas selesai. Jadi wajar kalo kamu gak bisa mengkondisikan tema-teman sekelas karena sebentar lagi jam pulang.”

Sungguh saat itu juga rasanya kamu ingin menangis. Ketika ada seseorang yang bisa mengerti kamu dan tidak menyalahkanmu atas apa yang sudah terjadi. Kamu mengerjapkan mata berusaha agar air mata tidak turun dari mata sipit itu.

“Makasih ya Jinan, buat gak nyalahin aku dan ngerti posisi aku sekarang.” Kamu berkata dengan nada lirih sambil menatap ujung kedua sepatumu. Jinan tersenyum senang kemudian kembali menarik susu Ultra Milk Stroberi yang ada di depanmu, dan menancapkan sedotannya. Kamu menerimanya malu-malu dan berucap terimakasih lagi.

“Abis pulang sekolah, nonton yuk?”


markablee

cw // kiss

Derap langkah Zaffran terdengar nyaring di tengah keheningan malam di penghujung tahun ini. Sudah pukul sepuluh malam, lingkungan sekitar komplek rumahnya masih ramai dipenuhi oleh warga komplek yamg sedang bersuka cita merayakan pergantian tahun bersama keluarganya. Terkadang suara kembang api terdengar sayup-sayup dari kejauhan, terkadang juga terdengar menggelegar membuat kaget siapapun yang berada disekitarnya, karena salah satu warga komplek ada yang sengaja menyalakan kembang api sebagai bentuk suka cita dalam pergantian tahun. Zaffran tentunya tidak keberatan akan hal itu, namun dia cukup khawatir suara ledakan kembang api itu membuat jagoan kecilnya terbangun dari mimpi indahnya.

Langkah Zaffran telah sampai di depan pintu kamar jagoan kecilnya, tangan kanannya memutar gagang pintu dengan perlahan berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang dapat menganggu tidur si kecil. Ia langkahkan kakinya mendekat menuju sisi ranjang agar bisa melihat si kecil dengan jelas. Bibir Zaffran terangkat ke atas ketika ia melihat jagoannya sedang tertidur dengan pulas tak terganggu sedikitpun oleh huru-hara dari luar. Tangan kekar Zaffran mengayun mengusap surai anaknya dengan lembut kemudian mengecup puncak kepala jagoan kecilnya dengan pelan lalu kembali meninggalkan si kecil yang tertidur lelap dengan menutup pintu kembali.

Kemudian Zaffran langkahkan kakinya dengan cepat menuju kamarnya untuk mencari sang istri. Namun ia hanya mendapatkan kesunyian dengan ruang tidur kosong yang artiya sang istri tidak berada di kamar mereka. Zaffran segera menaruh tas kerjanya disembarang tempat kemudian kaki jenjangnya melenggang mencari keberadaan sang istri.

Zaffran tersenyum saat akhirnya ia menemukan keberadaan Nata yang sedang berada di dapur dengan secangkir susu di tangan kirinya. Ia mengahmpiri Nata kemudian memberikan peluknya dari belakang Nata dengan tiba-tiba.

Nata yang sempat tersnetak hanya bisa mendengus ketika ia menyadari aroma tubuh Zaffran yang amat familiar kini menyeruak masuk ke indra penciumannya. Dia lepaskan tangan Zaffran yang melingkar di perutnya kemudian berbalik menatap sang suami dengan kesal. “ngagetin aja kamu tuh.” Zaffran tersenyum kemudian mencium lembut kedua pipi Nata dan beralih mengecup bibir tipis Nata sekilas seperti yang selalu ia lakukan setiap hari ketika ia akan berangkat bekerja, maupun saat sepulang kerja.

Zaffran memeluk Nata erat dan membisikan kata cinta dan beribu terimakasih pada telinga istri tercinta. “Beneran kan?” “Apanya?” Zaffran melepaskan rengkuhannya dengan cepat lalu memegang kedua bahu Nata dan menatap Nata lembut “itu kamu isi lagi beneran?” Nata menyunggingkan senyum bahagia sembari menganggukan kepalanya senang.

Zaffran tersenyum, kini ia memeluk Nata lebih erat dari sebelumnya. Kepalanya ia tenggelamkan di ceruk leher Nata, menghirup dalam-dalam aroma tubuh sang istri dengan penuh cinta. “Makasih sayang hadiahnya, aku bahagia banget.” Nata tersenyum dan mengelus punggung Zaffran pelan lalu mengangguk “hadiah dari Tuhan sayang, terimakasihnya ke Tuhan juga.”

Zaffran melepaskan pelukan mereka dan menatap Nata dengan mata berbinar siap mendengarkan cerita sang istri tercinta. “Sebenernya aku ceknya tadi pagi pas bangun tidur. Soalnya aku tuh bingung kan kok aku telat sampe dua bulan gak kayak biasanya ternyata hasilnya positif hehe.”

“Kenapa gak ngasih tau sekalian tadi pagi sayang?”

“Biar surprise. Tadi aku mau siapin candle light dinner juga buat kita sambil aku ngasih kejutan, tapi ternyata kamu malah lembur terus pulang telat.” Nata bercerita dengan bibir yang ia majukan sebagai pertanda bahwa dia sedikit kesal dengan acara lembur dadakan sang suami di malam tahun baru. Zaffran terkekeh dengan cepat ia mencuri satu kecupan singkat dari bibir sang istri kemudian tersenyum hingga memunculkan dimple khas di kedua pipinya.

“Maaf sayang.” “Ah aku seneng banget.” Zaffran kembali membawa tubuh Nata ke dalam pelukannya. Dia bawa tubuh Nata berputar-putar kemudian berakhir dengan mendudukan tubuh Nata di atas meja makan dan mengungkung tubuh Nata dengan kedua tangan kekarnya.

Zaffran mendekatkan wajahnya ke arah Nata menatap manik mata sang istri dengan dalam. Senyumnya sedari tadi masih terukir di wajahnya, menandakan betapa bahagia dan penuh perasaannya saat ini. Ia dekatkan wajahnya pada Nata kemudian memiringkan kepalanya dan menyatukan bibirnya dengan milik Nata dan melumatnya lembut, menyesapnya dengan hati-hati guna menyalurkan seluruh perasaan cinta dan syukur Zaffran pada semestanya. Nata mengalungkan kedua tangannya di leher Zaffran membalas kecupan demi kecupan yang Zaffran berikan dengan senyum bahagia. Ia memperdalam cumbuan mereka seakan menyalurkan segala perasaan yang membuncah di dadanya. Ia ingin Zaffran tahu bahwa ia juga sangat amat mencintainya dan bersyukur karena telah menempatkan semestanya pada Zaffran.

Dua pasangan sah ini menghabiskan malam pergantian tahun mereka dengan perasaan syukur dan bahagia yang membuncah di dalam dada. Mereka luapkan semua perasaan itu melalui cumbuan mesra dan penuh cinta diantara keduanya. Dengan tubuh yang saling bertaut dan tangan yang saling bertumpu satu sama lain.

Zaffran dan Nata di dalam hati mengucapkan beribu kata syukur dan terimakasih satu sama lain yang telah memilihnya sebagai rumah. Rumah yang terkadang diterpa oleh angin dan hujan namun tetap kokoh berdiri karena pondasi cinta yang kuat dibangun oleh mereka dan tembok kepercayaan yang juga menjadi tembok dari rumah mereka, serta Gal jagoan kecil mereka yang menjadi pelengkap juga di tambah satu kebahagiaan kecil lagi yang akan datang untuk melegkapi rumah kecil mereka.

Zaffran menyesap lama bibir ranum Nata sebelum melepaskan cumbuannya dan menatap Nata yang terengah dengan lamat, lalu mengusap kepalanya lembut dengan sesekali merapikan rambut hitam panjang sang istri dengan penuh kasih sayang dengan senyum yang masih terpatri di wajah tampannya. Kedua tangan Nata berpindah menangkup wajah tampan Zaffran lalu dengan singkat ia kembali melayangkan satu kecupan pada bibir Zaffran kemudian ia mengecup kedua lesung pipi Zaffran secara bergantian lalu setelahnya mengecup kening lebar sang suami.

Zaffran tergelak lemah ia menyatukan dahinya dengan dahi Nata kemudian berbisik lembut “i love you” yang dibalas oleh anggukan dari sang istri. “I love you too.”

“Terimakasih. Terimakasih sudah menjadi pelengkap hidupku Nat. Terimakasih karena telah memilih aku lagi dengan semua kekurangan dan kesalahanku di masa lalu.”

“Terimakasih karena sudah memberikan ribuan bahkan jutaan kebahagiaan di hidup aku. Terimakasih karena sudah memberikan cinta yang begitu banyak untuk aku dan terimakasih karena sudah sabar menghadapi semua kekuranganku. Aku cinta kamu Nat sampai kapanpun dan tak terbatas.” Nata mengangguk bahagia kemudian meraih Zaffran untuk memeluknya sembari membisikan kata cinta dan terimakasih di telinga Zaffran.

Mereka menghabiskan sisa malam pergantian tahun ini dengan peluk hangat ditemani oleh suara letupan kembang api yang jelas terdengar oleh indra mereka. Mereka tersneyum di tengah peluk sambil memandang ke arah jendela dapur memperhatikan kilauan kembang api yang percikannya menghiasi langit hitam cerah malam itu.

Dan kini bagi keduanya, pergantian malam di tahun 2021 adalah pergantian malam yang paling indah yang pernah mereka lalui dan tiada dua indahnya. Mereka berharap mereka akan terus merasakan kebahagiaan dan melewati malam pergantian tahun selanjutnya bersama hingga tua nanti.


markablee

**cw // kiss

Derap langkah Zaffran terdengar nyaring di tengah keheningan malam di penghujung tahun ini. Sudah pukul sepuluh malam, lingkungan sekitar komplek rumahnya masih ramai dipenuhi oleh warga komplek yamg sedang bersuka cita merayakan pergantian tahun bersama keluarganya. Terkadang suara kembang api terdengar sayup-sayup dari kejauhan, terkadang juga terdengar menggelegar membuat kaget siapapun yang berada disekitarnya, karena salah satu warga komplek ada yang sengaja menyalakan kembang api sebagai bentuk suka cita dalam pergantian tahun. Zaffran tentunya tidak keberatan akan hal itu, namun dia cukup khawatir suara ledakan kembang api itu membuat jagoan kecilnya terbangun dari mimpi indahnya.

Langkah Zaffran telah sampai di depan pintu kamar jagoan kecilnya, tangan kanannya memutar gagang pintu dengan perlahan berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang dapat menganggu tidur si kecil. Ia langkahkan kakinya mendekat menuju sisi ranjang agar bisa melihat si kecil dengan jelas. Bibir Zaffran terangkat ke atas ketika ia melihat jagoannya sedang tertidur dengan pulas tak terganggu sedikitpun oleh huru-hara dari luar. Tangan kekar Zaffran mengayun mengusap surai anaknya dengan lembut kemudian mengecup puncak kepala jagoan kecilnya dengan pelan lalu kembali meninggalkan si kecil yang tertidur lelap dengan menutup pintu kembali.

Kemudian Zaffran langkahkan kakinya dengan cepat menuju kamarnya untuk mencari sang istri. Namun ia hanya mendapatkan kesunyian dengan ruang tidur kosong yang artiya sang istri tidak berada di kamar mereka. Zaffran segera menaruh tas kerjanya disembarang tempat kemudian kaki jenjangnya melenggang mencari keberadaan sang istri.

Zaffran tersenyum saat akhirnya ia menemukan keberadaan Nata yang sedang berada di dapur dengan secangkir susu di tangan kirinya. Ia mengahmpiri Nata kemudian memberikan peluknya dari belakang Nata dengan tiba-tiba.

Nata yang sempat tersnetak hanya bisa mendengus ketika ia menyadari aroma tubuh Zaffran yang amat familiar kini menyeruak masuk ke indra penciumannya. Dia lepaskan tangan Zaffran yang melingkar di perutnya kemudian berbalik menatap sang suami dengan kesal. “ngagetin aja kamu tuh.” Zaffran tersenyum kemudian mencium lembut kedua pipi Nata dan beralih mengecup bibir tipis Nata sekilas seperti yang selalu ia lakukan setiap hari ketika ia akan berangkat bekerja, maupun saat sepulang kerja.

Zaffran memeluk Nata erat dan membisikan kata cinta dan beribu terimakasih pada telinga istri tercinta. “Beneran kan?” “Apanya?” Zaffran melepaskan rengkuhannya dengan cepat lalu memegang kedua bahu Nata dan menatap Nata lembut “itu kamu isi lagi beneran?” Nata menyunggingkan senyum bahagia sembari menganggukan kepalanya senang.

Zaffran tersenyum, kini ia memeluk Nata lebih erat dari sebelumnya. Kepalanya ia tenggelamkan di ceruk leher Nata, menghirup dalam-dalam aroma tubuh sang istri dengan penuh cinta. “Makasih sayang hadiahnya, aku bahagia banget.” Nata tersenyum dan mengelus punggung Zaffran pelan lalu mengangguk “hadiah dari Tuhan sayang, terimakasihnya ke Tuhan juga.”

Zaffran melepaskan pelukan mereka dan menatap Nata dengan mata berbinar siap mendengarkan cerita sang istri tercinta. “Sebenernya aku ceknya tadi pagi pas bangun tidur. Soalnya aku tuh bingung kan kok aku telat sampe dua bulan gak kayak biasanya ternyata hasilnya positif hehe.”

“Kenapa gak ngasih tau sekalian tadi pagi sayang?”

“Biar surprise. Tadi aku mau siapin candle light dinner juga buat kita sambil aku ngasih kejutan, tapi ternyata kamu malah lembur terus pulang telat.” Nata bercerita dengan bibir yang ia majukan sebagai pertanda bahwa dia sedikit kesal dengan acara lembur dadakan sang suami di malam tahun baru. Zaffran terkekeh dengan cepat ia mencuri satu kecupan singkat dari bibir sang istri kemudian tersenyum hingga memunculkan dimple khas di kedua pipinya.

“Maaf sayang.” “Ah aku seneng banget.” Zaffran kembali membawa tubuh Nata ke dalam pelukannya. Dia bawa tubuh Nata berputar-putar kemudian berakhir dengan mendudukan tubuh Nata di atas meja makan dan mengungkung tubuh Nata dengan kedua tangan kekarnya.

Zaffran mendekatkan wajahnya ke arah Nata menatap manik mata sang istri dengan dalam. Senyumnya sedari tadi masih terukir di wajahnya, menandakan betapa bahagia dan penuh perasaannya saat ini. Ia dekatkan wajahnya pada Nata kemudian memiringkan kepalanya dan menyatukan bibirnya dengan milik Nata dan melumatnya lembut, menyesapnya dengan hati-hati guna menyalurkan seluruh perasaan cinta dan syukur Zaffran pada semestanya. Nata mengalungkan kedua tangannya di leher Zaffran membalas kecupan demi kecupan yang Zaffran berikan dengan senyum bahagia. Ia memperdalam cumbuan mereka seakan menyalurkan segala perasaan yang membuncah di dadanya. Ia ingin Zaffran tahu bahwa ia juga sangat amat mencintainya dan bersyukur karena telah menempatkan semestanya pada Zaffran.

Dua pasangan sah ini menghabiskan malam pergantian tahun mereka dengan perasaan syukur dan bahagia yang membuncah di dalam dada. Mereka luapkan semua perasaan itu melalui cumbuan mesra dan penuh cinta diantara keduanya. Dengan tubuh yang saling bertaut dan tangan yang saling bertumpu satu sama lain.

Zaffran dan Nata di dalam hati mengucapkan beribu kata syukur dan terimakasih satu sama lain yang telah memilihnya sebagai rumah. Rumah yang terkadang diterpa oleh angin dan hujan namun tetap kokoh berdiri karena pondasi cinta yang kuat dibangun oleh mereka dan tembok kepercayaan yang juga menjadi tembok dari rumah mereka, serta Gal jagoan kecil mereka yang menjadi pelengkap juga di tambah satu kebahagiaan kecil lagi yang akan datang untuk melegkapi rumah kecil mereka.

Zaffran menyesap lama bibir ranum Nata sebelum melepaskan cumbuannya dan menatap Nata yang terengah dengan lamat, lalu mengusap kepalanya lembut dengan sesekali merapikan rambut hitam panjang sang istri dengan penuh kasih sayang dengan senyum yang masih terpatri di wajah tampannya. Kedua tangan Nata berpindah menangkup wajah tampan Zaffran lalu dengan singkat ia kembali melayangkan satu kecupan pada bibir Zaffran kemudian ia mengecup kedua lesung pipi Zaffran secara bergantian lalu setelahnya mengecup kening lebar sang suami.

Zaffran tergelak lemah ia menyatukan dahinya dengan dahi Nata kemudian berbisik lembut “i love you” yang dibalas oleh anggukan dari sang istri. “I love you too.”

“Terimakasih. Terimakasih sudah menjadi pelengkap hidupku Nat. Terimakasih karena telah memilih aku lagi dengan semua kekurangan dan kesalahanku di masa lalu.”

“Terimakasih karena sudah memberikan ribuan bahkan jutaan kebahagiaan di hidup aku. Terimakasih karena sudah memberikan cinta yang begitu banyak untuk aku dan terimakasih karena sudah sabar menghadapi semua kekuranganku. Aku cinta kamu Nat sampai kapanpun dan tak terbatas.” Nata mengangguk bahagia kemudian meraih Zaffran untuk memeluknya.

Mereka menghabiskan sisa malam pergantian tahun ini dengan peluk hangat ditemani oleh suara letupan kembang api yang jelas terdengar oleh indra mereka. Mereka tersneyum di tengah peluk sambil memandang ke arah jendela dapur memperhatikan kilauan kembang api yang percikannya menghiasi langit hitam cerah malam itu.

Dan kini bagi keduanya, pergantian malam di tahun 2021 adalah pergantian malam yang paling indah yang pernah mereka lalui dan tiada dua indahnya. Mereka berharap mereka akan terus merasakan kebahagiaan dan melewati malam pergantian tahun selanjutnya bersama hingga tua nanti.


markablee

Song recommendation: https://open.spotify.com/track/51lPx6ZCSalL2kvSrDUyJc?si=j3mMvj7JTW-uNAgYyiAKGA&utm_source=copy-link

Sepatu hitam legam milik Zaffran berdecit ketika bertemu dengan lantai dingin Wedding Hall Sudirman, tempat ia berdiri saat ini. Tangannya meraih kancing jas hitam miliknya dan mengaitkannya dengan mata yang berpendar keseluruh penjuru gedung yang sudah ramai diisi oleh para tamu undangan. Penampilannya bisa di bilang formal dan ia terlihat tampan hari ini dengan model rambut coma hair dan tubuh yang di balut oleh setelan jas berwarna hitam dengan sepatu pantofel hitam pula yang menghiasi kaki jenjangnya.

Ia dengan ragu melangkah memasuki hall dengan satu hembusan nafas berat yang ia keluarkan tanpa sadar. Langkahnya terhenti pada satu bingkai foto pernikahan yang terpampang jelas di depan pintu besar hall tersebut. Bibirnya naik ke atas menyunggingkan sebuah senyuman dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

Langkah kakinya kembali membawa tubuhnya untuk memasuki ruangan besar di balik pintu di hadapannya ini, dia berikan sedikit senyuman untuk menyapa para pekerja yang bertugas membukakan pintu untuk para undangan dan yang berkepentingan.

Memasuki ruangan ini, dia sedikit dibuat takjub dengan dekorasi yang serba putih dengan panggung resepsi megah di depannya. Banyak kursi-kursi berjejer di depan meja panjang yang sudah diisi oleh berbagai macam makanan ringan dan minuman yang tertata rapih. Zaffran melangkahkan kakinya menuju salah satu kursi kosong yang tak jauh dari panggung resepsi. Dia terduduk dengan mata yang masih berpendar memperhatikan para tamu undangan yang terlihat sangat rapih dan anggun, beberapa orang ada yg ia kenali bahkan ia melihat Kevlar dan Jiro yang duduk tidak jauh dari dirinya, namun dia memilih untuk tidak menghampiri mereka.

Ia sedikit terperanjat saat suara seorang MC menggema di seluruh ruangan menandakan acara sudah di mulai. Pandangan seluruh para tamu undangan kini sudah tertuju ke depan, ke arah mempelai laki-laki yang terlihat bahagia dan gagah dengan balutan jas putih di tubuhnya. Namanya tidak asing di dengar oleh telinga Zaffran saat MC menyerukan namanya, Kenzo Altherio. Nama yang sempat di sebut berpuluh-puluh kali orang perempuannya dan nama yang sempat ia baca sebelum ia masuk ke dalam gedung itu.

Dan yang ditunggu-tunggu oleh para tamu undangan pun tiba. Pintu besar itu terbuka menampakan sosok mempelai wanita yang didampingi oleh wali dan juga Bridesmaids di belakangnya tersenyum cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih dan juga mahkota yang menghiasi rambutnya dengan cantik.

Dada Zaffran seketika berdenyut sesak ketika mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Zaffran tersenyum lirih menatap perempuannya yang terlihat cantik dengan gaun pengantin yang ia pilihkan tempo lalu. Matanya seketika memanas dengan hati perih seakan tersayat oleh ribuan silet yang tak terlihat saat ia sadari bahwa senyuman hangat itu bukan lagi untuk dirinya. Langsung ia mengalihkan pandangannya menunduk menyembunyikan perasaannya juga matanya saat ini.

Akhirnya waktu ini tiba, waktu dimana Zaffran melihat perempuannya terlihat cantik dengan gaun pengantin dan tersenyum bahagia. Namun mirisnya bukan dirinya yang menunggunya di altar, bukan dirinya yang tersenyum cerah dan bahagia di ujung jalan menunggu perempuannya menghampiri. Bukan dirinya yang akan bersanding dengannya, bukan dirinya melainkan orang lain.

Iya, Natanya kini menemukan bahagianya di tempat lain. Natanya telah menemukan tempat pulang yang tepat dan itu bukan dirinya. Natanya kini telah memutuskan untuk melabuhkan hatinya pada orang lain tapi bukan dirinya.

Dan dadanya kembali berdenyut sesak saat ia menyadari bahwa bukan dirinya yang dipilih oleh Nata untuk pulang. Bukan dirinya yang membawa kebahagiaan untuk Nata melainkan hanya kesedihan dan kekecewaan.

Dan kini Zaffran dan hatinya telah kalah oleh masa lalu, seberapa pun ia berjuang ia akan tetap kalah. Ada orang yang lebih bisa memberikan kebahagiaan untuk perempuannya selain dirinya. Ah, bahkan ia saat ini sudah tidak pantas lagi mungkin menyebut Nata sebagai perempuannya.

Ia tersenyum miris sekali memandang ke depan ketika Nata sudah berada di pelukan orang pilihannya. Dengan menyunggingkan senyum bahagia mereka merangkul satu sama lain dan saling melempar senyum. Rasanya hati Zaffran kini sudah tidak berbentuk lagi. Ibaratkan hatinya ini adalah selembar kertas, kini sudah koyak tak berbentuk karena ribuat sayatan yang menyayat dengan brutal tanpa ampun. Kini ia merasa hatinya sudah berada di puncak kesakitannya.

Namun dia harus tetap tersenyum. Ini hari bahagia, hari bahagianya orang yang pernah sangat amat ia kasihi bahkan sampai detik ini. Dia harus tersenyum dan tidak boleh menunjukkan titik lemahnya. Lagu you're gonna life forever in me milik John Mayer mengalun indah dan menggema di seluruh penjuru gedung itu. Kemudian Zaffran berjalan pelan dengan agak gontai menuju panggung resepsi untuk memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai.

Life is full of sweet mistakes And love's an honest one to make Time leaves no fruit on the tree

Zaffran berjalan dengan pandangan lurus ke arah Nata yang sialnya Nata balik menatapnya nanar. Tatapan yang juga sulit sekali ia artikan. Zaffran tersenyum nanar sambil menatap Nata sambil berjalan, dan kemudian langkahnya terhenti tepat di depan perempuan itu.

But you're gonna live forever in me I guarantee, it's just meant to be

Ia tersenyum menatap Nata yang sudah berkaca-kaca. Anehnya ia merasa Nata juga sama hancurnya dengan dirinya. Nata juga sama sakitnya dengan dirinya, ia tahu betul saat menatap lekat mata hitam berkilau itu, ia tahu betul cinta Nata untuknnya masih tersimpan rapat di ruang hatinya.

And when the pastor asks the pews For reasons he can't marry you I'll keep my word and my seat

Zaffran meraih tangan Nata untuk di genggamnya dan menatap Nata dengan tersenyum “cantik” tanpa ia sadari suaranya sedikit bergetar. Nata masih memperhatikannya dengan mata berkaca, ia menunduk tak berani menatap Zaffran.

Dengan lembut Zaffran meraih dagu Nata untuk menatapnya “Eh kok nangis..” Air mata Nata diam-diam ternyata lolos terjun ke pipinya. Nata menggeleng masih menunduk tak berani menatap mata Zaffran langsung.

“Maaf” cicitnya pelan. Zaffran seakan tersambar petir mendengarnya, sebisa mungkin ia tahan untuk tidak menangis di depan Nata kemudian ia raih Nata masuk kedalam rengkuhannya. Nata membalas pelukan itu dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.

“Jangan nangis” Make up kamu mahal, sayang kalo luntur” di tengah pelukan itu Zaffran masih sempet mengajaknya untuk bercanda bahkan sedikit tergelak saat mengatakannya. Nata tidak mendengarkan itu karena ia tahu betul bahwa Zaffran sedang berusaha menutupi semuanya dan menghibur dirinya sendiri.

Kemudian dia lepas rengkuhannya dan menghapus air mata Nata hati-hati sekali dengan jari telunjuknya. Zaffran mengusap kedua pipi Nata lembut “jangan nangis, aku gak papa”

“Asal kamu bahagia, aku gak papa Nata” Nata menggeleng lemah air matanya kembali menetes mendengar perkataan Zaffran.

“Sekarang tugas aku udah selesai. Tugas aku buat selalu ada disamping kamu udah selesai Nat, dan sekarang ada Kenzo yang bakal selalu berdiri disamping kamu-”

Zaffran menghela nafas pelan menetralisir perasaannya sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sekarang ada Kenzo yang bakal menuntun kamu dan menopang kamu Nat, kamu udah gak butuh aku lagi. Dan aku yakin kamu pasti akan lebih bahagia sama Kenzo. Janji ya Nat?”

Nata masih terdiam menatap Zaffran dengan mata berairnya “Janji kamu harus lebih bahagia hidup sama Kenzo dibanding hidup sama aku dulu, ya?”

But you're gonna live forever in me I guarantee, just wait and see

Nata terisak kemudian mengangguk lemah. Zaffran tersenyum lebih tulus dari sebelumnya. Tidak ada yang lebih melegakan di benak Zaffran selain melihat Nata bahagia, tidak ada yang lebih melegakan di benak Zaffran selain melihat penggantinya untuk Nata adalah orang baik dan tepat dan Zaffran yakin Kenzo adalah orang yang tepat untuk Nata.

Zaffran menatap kearah Kenzo kemudian tersenyum dan menyalaminya dengan hangat lalu memeluknya sebentar “Jaga Nata” Kenzo mengangguk yakin “Tanpa lo minta gue pasti jaga dia Zaff”

Zaffran tersenyum hangat kemudian menepuk bahu Kenzo berat “gue tau lo orang yang tepat buat Nata. Gue percayain Nata ke lo Ken”

Kenzo balik tersenyum kemudian balas memegang bahu Zaffran dan mengangguk “thanks udah percayain Nata sama gue Zaff”

Lalu Zaffran menatap mereka berdua yang serasi berdiri berselebahan kemudian tersenyum kembali dengan rasa nyeri yang masih bersarang di dadanya. “Selamat ya. Kalian cocok”

Dan kemudian Zaffran meninggalkan mereka berdua dengan rasa yang masih tersimpan rapat didadanya. Nata akan terus hidup di dalam hatinya sampai kapanpun, meskipun bulan tidak pernah bertemu matahari, meskipun kelak bumi akan berakhir namun Nata akan tetap hidup di dalam dirinya selamanya. Pun begitu dengan Zaffran yang akan terus hidup di ruang kecil di hati Nata untuk selamanya.

Sudah tiga puluh menit berlalu kedua adam dan hawa ini hanya berdiam diri di ruang tamu di rumah milik Zaenal. Nata dan Zaffran hanya saling diam dan duduk bersebrangan di sofa besar di rumah tersebut. Kebetulan saat Zaffran datang rumah sedang tidak ada orang. Zaenal pergi ke kantor dan Jiro sudah pulang ke rumah Dinda sejak kemarin. Dan disinilah hanya tersisa Nata dan Zaffran.

Sedikit ada kecanggungan di antara keduanya. Padahal seminggu belakangan ini Zaffran sering bolak balik menemui Nata tetapi saat itu di rumah Nata sedang ada Jiro ataupun Zaenal, dan Zaffran mengunjungi Nata hanya sebentar.

“Nat-” “Zaff-”

Seketika suasana canggung diantara keduanya kian bertambah. Nata mengedarkan pandangannya ke segala arah kecuali pada Zaffran, dan Zaffran hanya mampu terdiam seakan lidahnya kelu tak bisa mengucapkan apapun.

“How you feel now?” Akhirnya Nata kembali membuka suaranya, Zaffran menatap Nata intens kemudian menghela nafasnya pelan. Sungguh rasa sesak itu kembali datang saat pertanyaan itu keluar dari mulut Nata secara langsung. Kemudian dia menggeleng lemah, menunduk tak berani menatap Nata.

Tanpa ia sadari Nata telah berjalan mendekat ke arahnya dan duduk tepat di sampingnya. Kemudian Nata dengan lembut menyentuh bahu Zaffran dan menariknya untuk menatap ke arahnya.

“Rent hug?”

Tanpa basa-basi Zaffran melingkarkan tangannya ke pinggung Nata dan menumpukan kepalanya di pundak Nata. Matanya terpejam menikmati elusan lembut tangan Nata di punggung dan kepalanya. Pelukannya semakin mengerat seakan tak mau melepaskan.

Sedetik kemudian Zaffran meneteskan air matanya diam-diam, kemudian mengatur nafasnya agar tidak terdengar isak tangisnya. Entah apa yang ia rasakan, seakan ia sedang menumpahkan segala resahnya pada Nata namun di sisi lain juga ia sangat merindukan pelukan hangat ini. Pelukan hangat yang tidak pernah ia dapatkan lagi beberapa bulan belakangan dan mungkin tidak akan pernah ia dapatkan kembali di masa mendatang. Membayangkan hal itu air mata Zaffran semakin menetes hingga membasahi pundak Nata.

“You did well Mas”

Maka air matanya semakin tumpah ruah bersamaan dengan segala keresahan dan kegundahan hatinya. Kini Zaffran menangis terseguk di bahu Nata, tak peduli baju Nata akan basah oleh air matanya. Yang jelas ia sangat amat merindukan sapaan itu, sapaan yang tak pernah ia dengar langsung keluar dari mulut Nata.

“Terimakasih karena sudah kuat ya Mas Zaffran, terimakasih juga sudah berani. Kamu hebat, kamu adalah laki-laki terhebat yang pernah aku tau”

Zaffran menggeleng acak di bahu Nata, ia semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Nata dan menangis kencang seperti anak kecil yang telah kehilangan permennya. Nata masih setia mengelus punggung dan puncak kepala Zaffran. Tanpa ia sadari air mata lolos begitu saja dari matanya namun ekspresi wajahnya tidak berubah, tetap datar dan tenang.

“Maaf” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Zaffran. Bagaimanapun juga Zaffran menyadari betul bahwa rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit yang di alami Nata karena ulahnya. Lagi dan lagi dia merasa sudah berdoa besar pada perempuan ini.

“Semuanya udah lewat Mas, dan aku udah ikhlas”

“Maaf Nat hari kamu jadi lebih berat karena aku. Maaf karena udah menorehkan luka di hati kamu. Maaf.. maaf..aku gak tau lagi mau ngomong apa selain maaf”

Nata beralih melepaskan pelukan Zaffran kemudian menatap Zaffran dengan tatapan teduhnya lalu kemudian tersenyum tenang.

“Sudah di maafkan”

Zaffran menunduk lagi kemudian meraih tangan Nata untuk di genggamnya. “N..Nat aku gak tau apa jadinya aku tanpa kamu Nata”

“Nat, a..aku aku gak bisa hidup kalo gak ada kamu”

Genggaman tangan itu semakin mengerat kala Nata melihat bahu Zaffran kembali bergetar naik turun.

“Tapi sebelum ada aku hidup kamu baik-baik aja Zaffran” Nata berkata lembut tapi secara bersamaan juga sangat menyayat hati Zaffran. Lelaki itu menggeleng lemah dengan bahu yang masih naik turun. Batin Nata bergejolak, dia mengadakan kepalanya berusaha menahan air matanya jatuh semakin deras, namun percuma saja kini mata Nata sudah menumpahkan semua apa yang ia bendung. Dada Nata merasakan sesak yang teramat kala ia melihat laki-laki didepannya ini menunjukan kelemahannya.

“N-nat tolong… tolong… kasih akunkesempatan lagi, sekali aja Nat” Zaffran mengangkat kepalanya, menatap Nata dengan maa merah penuh air mata. “Nat, izinin aku memgenal kamu dengan cara yang benar. Kasih aku kesempatan buat memulai kisah kita secara benar Nat”

“I love you Nat, I do really hard”

“I know” “But, I can't”

Nata mengehembuskan nafas pelan kemudian mengedarkan pandangannya ke segala arah, tak berani menatap Zaffran.

“Zaffran. Kita kenal dengan cara yang salah, dan kamu sudah menyakiti aku Zaff. Bahkan kalaupun aku mau, aku gak bisa. Aku gak bisa sama kamu karena itu akan menyakiti kita-”

“Enggak.. enggak Nata jangan bilang kayak gitu Nat, enggak” Zaffran kembali menggeleng acak ia mengecup tangan Nata yang berada di genggamannya berkali-kali. Rasanya memori paling menyakitkan dulu saat Nata pergi berlari meninggalkan perkarangan rumahnya seakan terulang kembali. Tangisnya pun sudah tidak ia tahan lagi, ia tumpahkan semuanya di hadapan perempuannya, menandakan penyesalan yang amat teramat dalam.

“Tolong Zaffran. Aku butuh waktu. Aku gak mau nyakitin kamu lebih lagi, karena nyatanya perasaan cintaku ke kamu tidak lebih besar daripada perasaan kecewaku, Zaff”

Zaffran semakin terisak keras dia terus saja menggeleng dengan mengucap kata tidak. Dada Nata semakin sesak di buatnya, sangat berat baginya untuk memutuskan semuanya tapi ia juga tidak boleh egois dengan perasaannya.

“Biarkan kita menyembuhkan luka masing-masing dulu Zaff.”

“Nata.. aku cinta kamu Nat” “J..jangan kayak gini”

“Kamu yang jangan kayak gini Zaff, tolong” Nata berkata lirih menatap Zaffran yang masih menunduk memeluk kedua tangannya yang digenggam. Nata berusaha melepas genggaman tangan Zaffran, namun semakin erat pula genggaman itu ia rasakan.

“Biar takdir dan Tuhan yang mempertemukan kita lagi”

Ucapan final Nata benar-benar membuat semua tembok pertahanan dan harapannya runtuh sesaat. Sudah tidak ada harapan lagi dengan hubungan mereka. Yang rusak sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Bagai pecahan kaca yang berusaha dirangkai menggunakan lem perekat namun tetap bekasnya masih ada, celahnya masih ada dan tidak dapat di tutupi oleh apapun.

Zaffran kian menangis dengan suara serak dan beratnya. Kemudian ia tumpukan kepalanya di bahu Nata. Nata meraihnya lalu mejatuhkan badannya pada Zaffran. Kedua insan ini memeluk dengan saling menangisi satu sama lain seakan ingin menikmati waktu terakhir sebelum perpisahan datang secara nyata. Sebelum dunianya meninggalkan pergi secara nyata.


©markablee

“Laras sayang.. seenggaknya jawab papa biar papa tau kamu baik-baik aja di dalam”

Bagaimana Zaenal tidak cemas saat ia terus saja mengetuk dan menggedor pintu kamar Nata semenjak pagi namun masih tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar itu. Dan saat ini sudah pukul 2 siang, Nata masih tak kunjung menjawab panggilan dari Papa nya.

Segala macam pikiran negatif bersarang di kepala Zaenal, ia sangat takut anak perempuan satu-satunya ini melakukan hal yang tidak terduga atau bahkan tak sadarkan diri di dalam kamarnya.

Kemudian tak lama derap langkah Jiro terdengar terburu-buru di susul oleh orang di belakangnya.

“Pa,” Jiro menyapa sang papa namun tak diindahkan. Malah perhatian Zaenal tertuju pada orang di belakang Jiro.

“Kamu..”

“Om”

Orang tersebut menyapa Zaenal dengan sopan dan sedikit kikuk. Zaenal menatap Jiro seakan meminta penjelasan.

“Aku yang kasih tau Bang Zaffran Pa, semalem kak Nata ternyata nelfon Bang Zaffran. Kali aja dia bisa ngebujuk Kakak buat keluar”

Jiro berpapasan dengan Zaffran sesaat setelah ia sampai di pekarangan rumah papanya, dan berakhir mereka berdua memasuki rumah itu bersama.

“Om, maaf tapi izikan saya liat Nata sekali aja. Saya juga khawatir sama dia”

Zaenal mengusap dahinya yang mengkerut kemudian mengangguk lemah sebagai tanda ia memperbolehkan Zaffran bertemu dengan Nata.

Zaffran dengan ragu mengetuk lintu kamar Nata “Nat.. Nata ini aku Zaffran Nat. Buka pintunya ya Nat”

Zaffran terus-terusan mengetuk pintu kamar Nata namun masih saja tidak mendapatkan jawaban. Namun sesaat kemudian ia mendengar isak tangis dari dalam sana. Zaffran tertegun, ia berhenti mengetuk saat mendengar isak tangis yang memilukan dari dalam.

“Om, maaf. Apa ada kunci cadangan?”

Zaenal menggeleng lemah sebagai jawaban. Air muka Jiro semakin khawatir takut sekali jika terjadi sesuatu pada sang kakak.

“Kalau begitu saya izin dobrak pintunya” Ucap Zaffran final. Ia menatap Zaenal meminta persetujuan. Tak ada cara lain, akhirnya Zaenal mengangguk setuju kemudian mundur beberapa langkah di balik Zaffran diikuti oleh Jiro.

Brak Brak

Zaffran berhasil mendobrak pintu itu dengan dua kali dorongan penuh dari pundaknya. Akhirnya pintu tersebut terbuka dan menampakan kondisi kamar tidur yang sangat berantakan dengan Nata yang sedang duduk bersimpuh di lantai menatap jendela.

“Yaampun kak Nata” “Astaga Laras”

Pekikan tertahan dari Jiro dan Zaenal tertahan saat ia melihat kondisi lemah Nata di dalam. Tanpa mereka ketahui Nata tidur setelah menelfon Zaffran dan terbangun setelah matahari terbit dan langsung mengambil posisi seperti saat ini hingga sekarang. Artinya sudah kurang lebih enam jam Nata hanya berdiam diri dengan posisi yang sama.

Hati Zaffran mendadak berdenyut saat melihat kondisi Nata saat ini. Dunia nya seakan hancur saat melihat Nata hancur. Dengan lemah Zaffran berjalan mendekat ke arah Nata.

“Nat...”

Zaffran memanggi lirih namun tidak mendapat jawaban dari Nata, tapi dapat ia lihat jelas sebulir air mata kembali menetes di mata gadis itu membuat hati Zaffran semakin berdenyut. Jiro seakan ingin mendekat ke arah kakaknya namun di tahan oleh Zaenal.

Zaffran mendekat, mendudukkan dirinya agar sejajar dengan Nata. Kemudian dengan lembut Zaffran menarik tangan Nata, secara otomatis Nata menoleh menatap mata Zaffran dengan tatapan putus asanya.

Terlihat sangat jelas mata merah Nata yang penuh genangan air mata dan muka pucat gadisnya ini, bibirnya bergetar saat menatap Zaffran siap menumpahkan semua tangisnya kembali.

Demi Tuhan tidak ada yang dapat menghancurkan dunia Zaffran kecuali melihat perempuannya dengan kondisi seperti ini. Seakan barang rapuh yang mudah pecah, Zaffran merengkuh Nata menuju dekapnya. Dan kala itu tangis Nata kembali tumpah di dada Zaffran, kala itu tangan kecil nan ringkih Nata melingkar erat di pinggang Zaffran seakan sedang mencari perlindungan.

“H..heii.. don't cry..” Zaffran berucap lirih dengan tangan yang mengelus lembut puncak kepala Nata, hal yang selalu ia lakukan pada sang gadis.

“A..Ajeng...”Hhhh... Huu..s-salah aku.. hh” “Z-zaffran.. hks..s-semua salah aku.. hhh hks”

Zaffran menutup matanya erat saat mendengar rintihan dan lirihan Nata yang menyalahkan dirinya atas keputusan Ajeng. Tangannya semakin mengerat pada pundak Nata seakan memberi perlindungan.

“No.. Nat.. bukan salah kamu Nata..” “Bukan salah kamu.. ini ketentuan Tuhan, Nat”

“Hei, denger aku Nat. Jangan kayak gini, Ajeng pasti sedih diatas sana liat kamu kayak gini Nat, kamu mau bikin Ajeng sedih disana hm?”

Zaffran terus mengelus puncak kepala Nata sambil membisikan kata yang sekiranya dapat membuat Nata tenang.

“Nat, Ajeng pasti gak mau lihat kamu seperti ini Nat. Dia pasti sedih, jadi jangan kayak gini ya Nat. Jangan buat Ajeng sedih Nat”

Nata melepas pelukan Zaffran kemudian menatap Zaffran dengan nafas sesegukan, air matanya sudah tidak mengalir lagi. Zaffran mengusap sisa air mata di pipi gadis itu dengan tangannya dengan lembut.

“Ini keputusan Ajeng sendiri, bukan salah siapa-siapa sayang. So, berhenti nyalahin diri kamu sendiri. Selain kamu bikin Ajeng sedih di atas sana. Kamu juga bikin semua jadi khawatir sama kamu Nat.” “Jangan kayak gini ya Nat, ikhlas ya” Zaffran terus memberikan pengertian kepada Nata disertai usapan lembut pada pipi gadis itu. Nata masih terdiam menatap mata Zaffran lamat.

“J..jadi bukan s-salahku? hks” Zaffran menggeleng memberikan jawaban masih mengusap pipi Nata lembut kemudian berganti mengusap puncak kepala Nata dengan sayang.

“Bukan Nat, ini takdir Tuhan.”

Nata kembali memeluk Zaffran dan menumpukan kepalanya pada dada bidang Zaffran. Dengan senang hati Zaffran membalas pelukan Nata. Matanya tertutup merasakan sesak di dadanya yang sedari tadi ia tahan.

“Z-zaff aku capek..” Setelah mengucap kata itu Nata menutup matanya dan tertidur didalam pelukan Zaffran.

Jiro dan Zaenal kemudian meninggalkan Zaffran dan Nata sendiri di dalam kamar Nata. Kemudian Zaenal menyuruh Jiro untuk menghubungi dokter guna mengecek kondisi fisik dan batin Nata.

Tanpa mereka sadari, ada satu orang yang memperhatikan Zaffran dan Nata dengan tangan mengepal di depan pintu kamarnya.

Tak di sangka melihat Nata bisa tenang di pelukan Zaffran membuat dada Kenzo berdenyut nyeri dan sesak. Kali ini Nata tidak membutuhkannya, yang Nata butuhkan hanyalah sebuah peluk dari sosok Zaffran. Maka tak dapat ia pungkiri bahwa ia belum bisa menggantikan Zaffran di hati Nata.


©markablee

Tw // mention of dead, suicide

Nata sudah menangis semenjak ia mendapat kabar dari Kenzo hingga sekarang mereka dalam perjalanan menuju Bandung untuk menghadiri proses pemakaman Ajeng. Rasanya hidupnya berada di dalam Pucak komedi. Kabar mengejutkan yang di berikan oleh Kenzo benar-benar tidak pernah di bayangkan oleh Nata selama hidupnya. Dia tidak pernah sedikitpun membayangkan bahwa hidup sahabatnya itu ternyata sangat sulit dan berat sampai sahabatnya ini tidak lagi memiliki kekuatan untuk bertahan. Bagaimanapun Nata merasa ini salahnya, ini salahnya karena dia tidak mau mendengarkan penjelasan dari Ajeng atas tindakannya, ini salahnya karena dia tidak memberikan sahabatnya itu kesempatan untuk bercerita, ini salahnya karena dia tidak peka akan perubahan sikap Ajeng selama ini dan terkesan tidak peduli padanya, ini salahnya karena dia tidak pernah tanya kenapa saat tiba-tiba perempuan itu menarik diri darinya. Ini semua salahnya.

Ketika Kenzo dan Nata sampai, tempat pemakaman itu ternyata sudah sepi dari para pelayat yang mengantarkan Ajeng ke tempat peristirahatan terakhirnya. Nata dengan dress hitam selutut berjalan gontai dengar air mata mengalir lagi dari pelupuk matanya, disusul oleh Kenzo di belakangnya. Sampai pada langkahnya yang tepat di depan gundukan tanah merah yang masih basah dan taburan bunga yang masih baru dengan nisan bertuliskan Ajeng Pramesti membuat kakinya lemas tak bertenaga hingga tak kuat menopang tubuhnya sendiri untuk berdiri. Kalau saja tidak ada Kenzo yang memeganginya dia mungkin sudah ambruk terduduk lemas di tanah.

Nata meremat lengan kanan Kenzo yang berada pada kedua tangannya seakan meminta kekuatan, di balas oleh usapan pada bahu kanan Nata dengan tangan kiri Kenzo yang sedari tadi merangkulnya. Nata melepaskan kedua tangan Kenzo dari badannya kemudian berdiri tegak lalu menghembuskan nafas pelan menetralisir perasaannya kemudian dia berlutut menatap lamat gundukan tanah merah di hadapannya.

Tangan gemetar Nata meraih nisan putih itu kemudian mengelusnya pelan. Seketika tangis Nata pecah tak tertahan hingga mengeluarkan isakan keras dan membuat bahunya berguncang naik turun dengan cepat.

“A..jeng” “Jangan hukum gue gini” “T..tolong gue gak sanggup”

Nata mengeluarkan suara tertahan di sela-sela tangisannya. Ia bahkan tidak kuat untuk berbicara lagi, hatinya sangat hancur sekarang. Entah berapa kali kehilangan lagi yang akan datang pada hidupnya, yang jelas ia merasa Tuhan sedang menghukumnya.

“Ajeng maaf. Maafin gue jangan kayak gini please, gue minta maaf. Gue salah, Ajeng...”

“Jangan tinggalin gue Jeng, gue mohon. Ajeng gue gak punya temen lagi selain lo. Kalo lo gak ada gue sama siapa?”

Suara rintihan dan isak tangis Nata membuat Kenzo ikut meringis, hatinya ikut tersayat pedih kala nya, hancur sekali ia melihat Nata seperti ini. Dia merangkul pundak Nata dan mengusapnya pelan membisikan kata-kata yang ia pikir dapat membuat hati nya membaik.

“Ssstt udah ya Nat, ikhlas” Nata menggeleng di sela tangisnya. Kenzo tak tahan, segera ia rengkuh kepala gadis itu untuk masuk ke dalam peluknya. Air matanya berhasil lolos diam-diam kala ia merengkuh Nata, di usapnya kepala gadis itu untuk memberikan ketenangan.

“K..kak, Ajeng ninggalin gue kak, dia pergi. Gue sama siapa disini” , “Kak gue salah banget sama Ajeng tapi kenapa dia hukum gue kayak gini”

“K..kak gue. Gu- hks hks hhh”

Kenzo semakin mengeratkan pelukannya pada Nata. Gadis didepannya ini sudah banyak sekali mengalami kesulitan di dalam hidupnya. Demi Tuhan jika ia bisa ia akan marah pada semesta karena telah memberikan luka begitu banyak pada gadis ini.

“Ssst udah ya Nat, ikhlas ya. Ini jalan yang di pilih Ajeng, ikhlas ya biar dia tenang perginya”

“Kita balik aja ya. Lo udah ga kuat lagi, ya Nat?”

Kenzo melepaskan regkuhannya dan membantu Nata untuk berdiri kemudian menuntunya pergi meninggalkan area pemakaman. Nata menoleh sejenak sebelum meninggalkan area itu kemudian dengan berat hati ia mengikuti langkah Kenzo yang menuntunya.

'lo gak salah, Nat'


; markablee

Kaki panjang berbalut celana linen hitam itu melangkah memasuki gedung merah putih. Sepatunya mengeluarkan suara ketukan kala bertabrakan dengan lantai yang ia pijak. Iya, ini adalah jadwal yang di buat secara khusus oleh Zaenal untuk mengunjungi Hanjaya di Rumah Tahanan KPK.

Sejak beberapa hari lalu dia mendapat kabar bahwa Hanjaya sudah ditangkap oleh KPK atas perbuatan suap dan penggelapan dananya, Zaenal sudah sangat berniat untuk menemui Hanjaya untuk berbicara dengannya.

Lelaki paruh baya itu duduk dengan menautkan jari-jarinya di meja menunggu kedatangan Liandra yang akan di dampingi oleh petugas.

Tak lama kemudian Zaenal menangkap eksistensi Hanjaya datang dengan rompi oranye yang melekat pada tubuhnya, tangannya di borgol dan wajahnya sangat kusut sekali, sangat jauh berbeda dengan Hanjaya di hari-hari biasanya.

Hanjaya terduduk tepat di depan Zaenal dan menyenderkan badannya ke kursi dengan mata menatap Zaenal tak bersahabat. Zaenal hanya diam membalas tatapan Hanjaya dengan datar.

“Ada perlu apa? Mau menertawakan kekalahan saya?” Akhirnya Hanjaya mengeluarkan suaranya, memulai obrolannya dengan Zaenal.

Zaenal mendecih tak percaya, “kamu Ini sebenarnya kenapa Jaya?”

“Apa yang kamu kejar sebenarnya?”

“Kehancuran kamu.” Dengan cepat Hanjaya menajwab pertanyaan Zaenal. Lalu mengulanginya nya sekali lagi dengan raut wajah tak sukanya.

“Kehancuran kamu, Zae.” “Tapi kenapa saya tidak bisa melakukannya? Kenapa saya selalu kalah dari kamu?”

Zaenal menghela nafasnya pelan. Baginya Hanjaya adalah orang paling naif yang pernah ia kenal. Hatinya selalu diliputi dengan ambisi dan selalu ingin berdiri di barisan paling depan dengan menyandang titel orang nomor satu. Namun sayangnya semakin dia berambisi semakin pula ia jauh dengan tujuannya. Karena dia tidak pernah puas dengan apa yang dia miliki, dia tidak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya.

“Kamu dapat apa dengan menghancurkan saya Jaya? Saya salah apa sebenarnya sama kamu?”

Hanjaya mendecih remeh masih menatap nyalang orang dihadapannya ini.

“Salah apa? Pertanyaan retoris macam apanitu Zae? Apa kamu tidak ingat perbuatan apa yang telah kamu lakukan pada saya saat acara reuni kita dua puluh tahun lalu?” “Disana kamu dan teman-temanmu merendahkan saya Zae. Kalian menertawakan saya dan bicara omong kosong bahwa saya tidak akan pernah bisa berhasil seperti kalian. Perusahaan kecil saya kalian hina, dan kalian tidak pernah ada merangkul saya ketika saya meminta bantuan pada kalian. Apa kamu lupa semua itu Zae?” “Dan juga kamu merebut Diana dari saya.”

Zaenal tertegun dengan perasaan campur aduk saat mendengar perkataan Hanjaya. Dua puluh tahun lalu adalah waktu yang sangat lama untuk Hanjaya menyimpan dendam dengan begitu dalam kepadanya. Ia seakan tidak percaya candaan dan lontaran kalimat remeh yang teman-temannya berikan ternyata berdampak buruk pada hidupnya saat ini dan membuat anaknya menjadi korban balas dendam teman lamanya ini. Padahal nyatanya saat itu ia tidak pernah sekalipun mengikuti teman-temannya untuk meremehkan Hanjaya, sekalipun tidak pernah ada terbesit satu niat pun untuk merendahkan teman lamanya ini, semuanya hanya salah paham.

Dan juga perihal Diana, istirnya. Lebih tepatnya mantan istrinya sekarang, ibu dari anak-anaknya. Sekalipun ia tidak merebut perempuan itu dari Hanjaya. Merek menjalin hubungan berbulan-bulan setelah Diana memutuskan hubungannya dengan Hanjaya.

“Zae, apa kamu akan terkejut saat saya bilang bahwa saya ikut andil dalam permasalahan rumah tangga kalian?”

Zaenal membelalakkan matanya sepersekian detik dengan alis mengkerut tidak percaya, tangannya mulai mengepal menahan emosi. Hanjaya yang melihat itu hanya mengeluarkan suara tawa meremehkan.

“Saya tidak menyangka kamu akan bertindak sejauh itu”

Kemudian tawa menggelegar memenuhi ruangan kunjungan itu. “Kamu hanya tidak pernah mengenal saya Zae”

“Dengar Jaya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak pernah sekalipun merendahkan kamu.”

“Anjing menggonggong nyaring bunyinya.” Lagi, Hanjaya tersenyum remeh sambil menatap Zaenal.

Merasa penjelasannya akan berakhir sia-sia Zaenal hanyabdapay menghela nafas lelah lalu sesaat kemudian raut wajah Zaenal berubah menjadi sinis dan menatap Hanjaya remeh. “Saya sudah coba menjelaskan semua kebenarannya” Kemudian dia memajukan badannya mendekat ke arah Hanjaya lalu menautkan jemarinya diatas meja dan beralih tersenyum remeh menatap lawan bicaranya itu.

“Jaya, saya bisa saja dengan mudahnya melaporkan penipuan yang telah kamu dan anak kamu lakukan pada putri saya.”

“Saya sangat marah besar kepada kamu dan anak-anak mu yang telag memainkan perasaan putri saya. Putri saya tidak ada sangkut-pautnya dengan ini Hanjaya.” “Kamu tidak tahu bagaimana marahnya saya saat putri saya datang ke hadapan saya, menangis karena ulah anak kamu” Lalu ucapan Zaenal berhenti sejenak.

“Dan kamu tahu apa Jaya? Faktanya anakmu sendiri yang datang kepada anak kedua saya untuk memberikan file gelap perusahaan milikmu”

“Dan saya tidak perlu repot-repot mengotori tangan saya hanya untuk membalas perbuatan kamu pada putri saya”

Hanjaya menggeram marah tangannya yang diborgol mengepal kuat. “Apa?” Sementara Zaenal masih menyunggingkan senyum remehnya.

“Sekarang apa Jaya? Kamu malah tidak di hormati oleh anak kandung kamu. Itu karena apa? Itu karena keegoisan dan ketamakan mu” Zaenal menekankan semua kalimat yang keluar dari mulutnya. Hanjaya berdecih kasar. Seandainya saja tangannya tidak di borgol. Ia mungkin sudah menjatuhkan tinju pada muka Zaenal.

“Apa perlu saya tambah hukuman kamu?” Zaenal mengadakan kepalanya seakan berpikir dengan senyum sinis masih terpatri di wajahnya. Lalu kemudian kembali menatap Hanjaya dihadapannya.

“Tapi tidak. Saya tidak akan melakukan cara yang sama seperti kamu. Saya masih manusia dan saya masih punya hati nurani.” Zaenal terdiam sebentar menimang kata apa yang harus ia keluarkan setelahnya.

“Pada akhirnya kamu jatuh ditangan anak-anak mu sendiri”

Hanjaya menggebrak meja tak tahan lagi. Ia terlalu marah menerima kenyataan bahwa apa yang rival-nya katakan ini adalah semuanya benar, ia membenci semua fakta itu.

Zaenal terkekeh kemudian bangkit dari duduknya, lalu merapikan jas yang ia kenakan dan berjalan mendekati Hanjaya kemudian menepuk pundaknya pelan dan berbisik

“Selamat menjalankan hukuman, Hanjaya”


; markablee

Lagi-lagi Zaffran terbangun di sebuah taman dengan hamparan rumput hijau dan bunga-bunga matahari disekelilingnya. Bedanya dia hanya seorang diri disana, tidak ada kain piknik bercorak kotak berwana cream yang berisi dengan makanan ringan dan juga sosok cantik Nata berbalut dress putih yang tersenyum hangat menatapnya.

Dia menatap sekeliling juga sekaligus memperhatikan dirinya sendiri, entah sejak kapan dirinya berganti pakaian menggunakan kemeja putih dengan dua kancing atas yang terbuka juga dengan rambut gondrong nya yang hampir saja menutupi jarak pandangnya. Pandangannya berkeliling mencari sosok Nata yang hilang. Kemudian dia melihat satu cahaya terang yang sangat menyilaukan matanya. Tangannya terangkat menghalangi cahaya terang itu menembus masuk ke matanya. Perlahan tapi pasti kaki Zaffran melangkah menghampiri cahaya itu.

Sudah sepuluh langkah lebih dekat, cahaya terang itu justru semakin terang hingga benar-benar Zaffran tidak dapat melihat apapun yag ada dihadapannya, matanya menyipit hampir menutup tak tahan dengan sinarnya. dia berhenti berjalan. Benaknya bertanya-tanya ada apa di balik sinar terang itu? Ia kembali mencoba melangkahkan kakinya perlahan namun sepersekian detik kemudian dia berhenti tatkala mendengar suara puan yang amat familiar di telinga.

“Mas Zaffran” Seketika Zaffran berbalik mencari sumber suara tersebut, kepalanya menengok kesana kemari dengan pandangannya yang mengintari taman itu.

“Nata” Bisiknya lirih.

“Sayang, bangun ya?” Suara Nata kembali berputar dikepalanya, dia berjalan menjauhi cahaya itu dan segera mencari sumber suara Nata. Mencari dimana keberadaan puannya itu.

“Nat, kamu dimana?” Zaffran berseru kencang setengah berteriak, entah berapa kalipun dia mengintari taman itu, namun sosok Nata tetap tidak dapat ia temui. yang ada hanya suara Nata yang memanggil-manggil namanya sambil terisak, Zaffran sendiri mulai kalut, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya. Yang ia lakukan kali ini hanyalah berlari kesana kemari tak tentu arah mengintari taman bunga matahari ini sambil terus menyerukan nama Nata.

“Kamu mau denger sesuatu gak?” Seketika degup jantungnya behenti bersamaan dengan langkahnya yag berhenti tiba-tiba tatkala mendengar bisikan suara Nata lagi. Nafasnya terengah, detak jantungnya tiba-tiba berpacu cepat ketika mendengar bisikan lembut suara Nata tepat pada telinga, bisikan Nata menyapa lembut hatinya namun di sisi yang sama juga sangat menyayat hatinya.

“I love you, I really do” Bersamaan dengan bisikan suara Nata yang mampu membuat dadanya di tusuk oleh ribuan jarum dalam satu waktu. Zaffran akhirnya mendapati sosok Nata yang berdiri jauh di depannya, masih dengan gaun dan senyum yang sama seperti mimpinya sebelumnya. Nata tersenyum hangat kemudian melambaikan tangannya pada Zaffran seakan menunggu Zaffran menghampiri.

Zaffran tersenyum ia dengan tanpa ragu melangkahkan kakinya menuju belahan jiwanya. Belum sempat ia melanjutkan satu langkahnya, tiba-tiba hembusan angin kencang menabrak dirinya hingga membuat dadanya berdenyut nyeri begitu dahsyat. Bayangan peristiwa kecelakaan yang menimpa dirinya kembali berputar jelas diotaknya. Zaffran terhempas kuat, dirinya hanya bisa pasrah menerima tekanan tersebut dan hanya bisa kembali menutup matanya pasrah. Ia pasrah atas rencana Tuhan padanya, ia sudah sangat ikhlas ketika Tuhan meminta dirinya untuk kembali ke sisi-Nya, Ia sudah mengikhlaskan semua nya dan meninggalkan semua rasa yang membuncah didadanya untuk kembali dipeluk Tuhan.

Dan hanya satu dibenaknya saat ini, hanya satu kata yang ingin sekali dia keluarkan sebelum dirinya hilang. dan satu kata itu tidak pernah dapat ia sampaikan sekalipun didepan belahan jiwanya.

Tubuh Zaffran terhempas keras, punggungnya seakan menabrak sesuatu yang menahannya dan rasanya sangat sakit sekali. Nafasnya tercekat dengan mata yang masih setia menutup merasakan sakit akibat hantaman keras pada punggungnya.

Kemudian dengan sekali guncangan ia membuka matanya lebar-lebar dengan dada berdenyut nyeri serta tubuh yang terasa remuk seperti tak berbentuk. Lalu ia edarkan pandangan matanya ke arah sekelilngnya, dilihatnya samar atap putih dengan banyak lampu neon di atasnya, juga aroma antiseptik dan peralatan medis yang menyeruak masuk ke hidungnya, dan suara alat pendeteksi detak jantung yang masuk ke gendang telinganya.

Dan sekali ia merasakan tangan besar keriput mengangkat pelan pergelangan tangannya dan menempelkan kedua jarinya pada nadinya, lalu beralih membuka paksa namun pelan kedua kelopak matanya. Setelah itu tangan keriput itu menjauhi tubuhnya dan berdiri disampingnya, Zaffran merasakan badannya tidak bisa ia gerakkan bebas kemudian melirik pelan dan merasakan sakit pada bola matanya, ia mendapati sosok pria berusia lanjut dengan jas putih bersih disertai stetoskop di tangan kanannya, juga didampingi oleh lima orang wanita dan pria yang mengenakan pakaian biru dan samar-samar ia mendengar perkataan orang-orang yang sedari tadi berkumpul mengelilinginya.

“Pasien sudah sadar, Dok”


: markablee