I Love You but I'm Letting Go
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
Syahnaz mengusap wajahnya kasar setelah membaca rentetan pesan yang dikirim Arsen untuknya. Ia berdecih, bukan kali pertama Gibran membuat Syahnaz merasa secemas ini. Sudah kali kesekian sejak masa-masa mereka putus nyambung bahkan sampai sekarang. Hubungannya dengan Gibran sudah kandas seperempat windu lalu, tapi ia tidak bisa serta merta menghapus bayang-bayang Gibran begitu saja. Komunikasi mereka terhitung sudah jarang, pun intensitas bertemu mereka juga bisa dihitung dengan jari.
Syahnaz tidak lagi berada di sekeliling Gibran, tapi terkadang ia bertemu Gibran di jalan, atau saat Syahnaz sedang bertamu di rumah Vallerie, atau lebih herannya Syahnaz sempat menemukan Gibran di restoran favoritnya beberapa kali.
Syahnaz sudah memasrahkan semuanya, termasuk rasa sakitnya. Namun, semua itu tidak serta merta membuat dirinya melupakan Gibran dan segala kenangan yang pernah mereka buat. Meskipun saat ini sudah ada Nathaniel, tapi kehadiran lelaki itu belum berhasil menggeser nama Gibran dari hatinya.
Syahnaz memasuki suatu club ternama di kota ini dengan tergesa. Matanya celingukan mencari presensi seseorang yang ia kenal. Sudut mata Syahnaz akhirnya mendapati presensi Arsen dengan mantan pacarnya yang terduduk lesu di ujung barat club itu. Syahnaz beranjak membawa langkah kakinya menuju dua orang itu.
“Nas.” Syahnaz tersenyum sambil mengangguk menjawab sapaan dari Arsen. Matanya memperhatikan Gibran yang terduduk sambil menunduk dengan lekat, ada sedikit kecemasan di dalam sana. Sementara Arsen masih setia dengan diamnya, lelaki itu berkacak pinggang memperhatikan sohibnya yang terlihat memprihatinkan.
“Dari tadi gue ajak balik nggak mau dia,” adu Arsen, Syahnaz diam saja. Perlahan ia maju mendekati Gibran, tangannya menyentuh pundak lelaki itu pelan.
“Gibran.”
Suara lembut Syahnaz berhasil membuat Gibran mengangkat kepalanya. Gibran tersenyum manis dengan matanya yang sayu. Tangannya lantas meraih Syahnaz untuk ia peluk. Syahnaz jelas terkejut, tapi dia tidak memiliki waktu banyak untuk menghindar.
“Pineapple, I miss you.”
Gibran bukan tidak sadar sepenuhnya. Ia sadar saat mengatakan hal itu kepada Syahnaz. Gibran masih dalam keadaan bisa mengurus dirinya sendiri. Namun, ia memilih terlihat wasted agar bisa berdekatan dengan Syahnaz lebih lama.
“Gibran, ayo pulang.” “Sen, tolong bantu gue bawa Gibran ke mobil.”
Arsen mengangguk, ia lantas memapah Gibran menuju mobil milik Syahnaz di parkiran. Setelah berterima kasih kepada Arsen, Syahnaz lantas masuk ke dalam mobilnya. Perempuan itu memperhatikan mantan pacarnya yang malah tertidur di sampingnya. Syahnaz menghela napas pelan sesaat sebelum ia tancap gas meninggalkan parkiran.
***
Lima belas menit sudah mobil Syahnaz terparkir di basement apartment Gibran. Ia bingung bagaimana caranya membangunkan Gibran yang masih tertidur lelap di dalam mobilnya.
“Gibran.” Akhirnya Syahnaz meraih pundak Gibran menepuknya lembut untuk membangunkan lelaki itu. Alis Gibran mengkerut, ia bergerak tidurnya terganggu oleh tepukan tangan Syahnaz pada pundaknya.
Lelaki itu membuka matanya, ia mengernyit manakala merasa kepalanya pening bukan main. Gibran memijat dahinya pelan, matanya sudah terbuka sempurna. Gibran tersenyum saat mendapati wajah cantik milik Syahnaz saat pertama kali ia membuka mata.
“Udah sampe.” Syahnaz berucap dengan wajah datarnya. Gibran masih terdiam dengan netranya yang menatap Syahnaz lekat. Tangannya lantas bergerak hendak menyentuh rahang Syahnaz. Namun, perempuan itu mengalihkan pandangannya, menghindari tangan Gibran.
“Nas—” “Udah sampe, tugasku udah selesai.” “We need to talk.” “We're clear.” “Not yet.”
Gibran menatap Syahnaz dengan tatapan melasnya, sampai kapan pun lelaki itu tidak bisa mengalahkan keras kepala Syahnaz. Namun, malam ini dia tidak akan mengalah. Segala sesuatu tentang hubungannya dengan Syahnaz harus diperjelas, entah akan berakhir baik atau justru sebaliknya. Gibran sudah menyiapkan hatinya untuk segala kemungkinan yang datang setelah mereka bicara.
“Nas, please.” “Okay, for the last time.”
Gibran menghela napas lantas tersenyum getir, “For last time, I promise.”
***
Kini berakhirlah mereka di ruang tamu apartemen milik Gibran. Keduanya terduduk saling berhadapan pada salah satu sofa panjang milik Gibran. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari keduanya. Gibran masih ragu untuk mengeluarkan isi kepalanya, sementara Syahnaz menunggu apa yang ingin dibicarakan mantan pacarnya.
“Syahnaz—” “Kalo kamu mau minta maaf lagi, aku pulang sekarang, Gibran.”
Mendengar ancaman Syahnaz, Gibran gelagapan. “Okay I'm sorry— I mean ….”
Syahnaz membuang napasnya kasar. Terjebak dalam satu ruangan bersama Gibran membuat dirinya tak bisa berpikir jernih. Syahnaz merindukan lelaki itu, teramat merindukannya sampai-sampai ia bisa langsung menubruk tubuh di depannya dan memberikan pelukan erat sambil mengatakan “I miss you a lot.”
Beruntungnya, kontrol diri Syahnaz lebih baik dari perkiraan. Alhasil, dia masih diam di tempat yang sama tanpa melakukan apapun.
“Can I hug you?” Syahnaz bergeming mendengar permintaan Gibran. Diam-diam tangannya mengepal di bawah. Perempuan itu ingin sekali memeluk Gibran. Namun, ia tidak bisa melakukannya jika tidak mau pertahanan dirinya runtuh seketika.
“I wanna hug you so bad.” Gibran mengulang permintaannya sekali lagi. Tangan lelaki itu perlahan meraih jemari Syahnaz membawa kedua telapak tangan Syahnaz mendekat ke arah bibirnya. Ia memberikan kecupan dalam di sana. Syahnaz meringis saat merasa suatu getaran asing dalam dirinya mendominasi.
“Gibran.” Syahnaz lantas menunduk saat ia mendengar ada suatu isakan dari Gibran, perempuan itu memegang kedua bahu Gibran yang bergetar lemah kemudian berganti meraih rahang lelaki itu untuk ia bawa naik ke atas. Gibran memejam dengan dahinya yang mengerut. Pikir Syahnaz lelaki itu masih dalam pengaruh alkohol dan dia sedikit terisak karenanya. Ia lantas menarik tubuh Gibran masuk ke dalam pelukannya, melingkarkan kedua lengannya pada pundak Gibran dan menepuk punggung laki-laki itu dengan lembut.
“I hugged you,” Syahnaz berbisik lembut.
Lantas Gibran melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Syahnaz, mengeratkan rengkuhannya dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher perempuan itu.
Gibran menghirup rakus aroma yang selama ini dia rindukan. Syahnaz masih sama seperti sebelumnya. Wangi floral yang lembut masih mendominasi penciumannya dan Gibran tidak akan pernah melupakan aroma itu.
Sepersekian menit kemudian, Gibran menarik diri. Ia melepaskan pelukan di antara mereka lebih dulu. Tangannya terangkat meraih rahang Syahnaz dengan lembut, matanya menatap lekat-lekat manik cokelat milik Syahnaz, seakan mencari-cari sedikit harapan di dalam sana.
Lelaki itu mengikis jarak di antara keduanya, mendekatkan wajahnya bersamaan dengan kedua ibu jarinya mengusap lembut wajah cantik Syahnaz. Perempuan itu hanya diam, ia terpaku. Kedua tangannya kembali mengepal dengan bunyi detak jantung yang seperti benderang. Syahnaz seketika lupa caranya bernapas manakala ia merasakan sapuan lembut yang berasal dari bibir Gibran pada bibir tipisnya. Perempuan itu masih mematung tanpa membalas cumbuan Gibran kepadanya. Gibran semakin memperdalam ciumannya, melumat benda kenyal yang sangat ia rindu akhir-akhir ini.
Gibran tidak bisa membawa pikirannya tetap jernih. Lelaki itu hanya ingin Syahnaz mengetahui bagaimana tersiksanya dia selama ditinggalkan. Bagaimana dalamnya rindu yang tertimbun di dalam relungnya.
Ciuman Gibran masih sama bagi Syahnaz. Masih lembut dan dalam, tapi tak menuntut. Syahnaz jelas bisa merasakan segala perasaan Gibran yang ia tuangkan dalam cumbuan itu. Maka, untuk sekali saja Syahnaz memutuskan untuk melampaui batas barang sebentar. Toh tidak ada salahnya sebab dia juga tak menampik kalau dirinya merindukan Gibran. Sama dalamnya, hingga ia tidak bisa menutup matanya saat tengah malam, atau tidak bisa memfokuskan pikirannya seharian.
Lantas Syahnaz melingkarkan kedua lengannya pada leher Gibran. Menutup matanya dan membalas ciuman serta lumatan yang lelaki itu berikan. Ia sesekali melenguh manakala merasakan ciuman itu semakin dalam, atau saat Gibran menggigit bibirnya pelan guna meminta akses untuk menginvasi rongga mulutnya. Syahnaz hampir tidak waras, dia sudah terbawa suasana saat Gibran mengangkat tubuhnya untuk dibawa ke atas pengakuannya.
Tautan mereka masih berlanjut dengan Syahnaz yang berada di pangkuan Gibran. Tangan Syahnaz merambat masuk ke dalam helai demi helai rambut hitam Gibran dan meremasnya pelan, menyalurkan segala gairah dan perasaan menggelitik yang tercipta akibat permainan mereka.
“Nas ….” Gibran melepaskan tautannya, ia menatap Syahnaz yang berada di pangkuannya. Perempuan itu terengah dengan mulutnya yang terbuka, bibirnya merah dan agak sedikit bengkak. Gibran mengusap sisa-sisa salivanya yang tertinggal pada sekitar bibir Syahnaz. Lelaki itu sama terengahnya. Matanya sudah menggelap, tapi ia tidak bisa melakukan lebih jauh sebab Syahnaz sudah menjadi milik orang lain.
“You have a boyfriend.”
Syahnaz menghela napas pelan, ia mendekatkan wajahnya ke arah Gibran dengan kedua tangan yang masih bertengger di rahang lelaki itu. “I am not.”
Perempuan itu lantas menyatukan bibirnya dengan Gibran. Melumat bibir itu dengan lembut dan sedikit menuntut. Syahnaz kembali meruntuhkan tembok ego yang ia bangun susah payah malam ini. Rindunya lebih besar dari egonya. Keinginannya untuk disentuh Gibran lebih besar.
Gibran bangkit dengan membawa Syahnaz dalam gendongannya. Tautan mereka tidak terlepas selama Gibran berjalan menuju kamar tidurnya. Jantung Syahnaz berdetak kian cepat manakala ia menyadari dirinya sudah memasuki kamar tidur milik Gibran.
Gibran membaringkan Syahnaz di ranjang miliknya. Mengungkung tubuh perempuan itu dengan siku yang ia jadikan sebagai tumpuan. Lelaki itu terengah, tangannya merapikan rambut bagian depan Syahnaz agar tak menutupi wajah cantiknya. Gibran lantas tertunduk menuju leher perempuan itu, tapi gerakannya terhenti saat tangan Syahnaz menahan kedua pundaknya. Gibran terdiam, ia kembali menatap Syahnaz dengan penuh tanya.
“You're drunk, Gibran,” ucap Syahnaz pelan. “I'm sober,” jawab Gibran pasti.
Syahnaz gamang, ia balik menatap mata sayu Gibran memastikan bahwa Gibran benar-benar sadar. “Aku sadar, Nas. really.” Gibran mendekat, ia berucap sambil mencium tiap sisi wajah Syahnaz pelan.
“Pineapple?”
Darah Syahnaz kembali berdesir saat mendengar panggilan yang tak asing itu masuk ke dalam rungunya. Sesuatu berdenyut dalam dadanya, entah itu perasaan senang atau sesak yang Syahnaz rasa.
“May I?” tanya Gibran pelan.
Syahnaz mengangguk ragu, “I beg you to remember this night or I'll hate you.”
“Don't worry, I'll keep this night into my deep memories. I promise.”
Maka dengan segala kesadarannya Gibran kembali mendekat, menghirup dalam-dalam aroma Syahnaz sebelum memberikan banyak kecupan pada leher perempuan itu dengan acak dan menuntut.
Dengan satu gerakan pasti, tangan Gibran menyingkap pakaian Syahnaz dan menyingkirkannya dari tubuh perempuan itu. Dia melakukan hal yang sama pada pakaiannya.
Gibran kembali mendekat menuju leher Syahnaz, membuat tanda biru keunguan disana. Syahnaz melenguh manakala ia merasakan tangan Gibran merambat menuju salah satu bagian sensitifnya. “Gibran.” “Hm?” “Why?” tanya Syahnaz di tengah lenguhannya. Gibran bergeming, ciumannya turun menuju tulang selangka Syahnaz hingga ke dadanya. Syahnaz semakin melenguh, Gibran bergairah. Ia merasa di atas angin saat mendengar lenguhan itu keluar dari bibir Syahnaz.
“Why did you touch me?” tanya Syahnaz lagi. “Why did you let me touch you?” tanya Gibran balik.
Tidak ada jawaban dari Syahnaz, maka Gibran tuntun jemarinya semakin ke bawah. Mengusap lembut perut Syahnaz dengan gerakan memutar. Syahnaz berjengit, dadanya sampai membusung, matanya masih terpejam dengan kerutan yang menghiasi dahinya.
“Answer me, Pineapple.” Gibran berbisik di telinga kiri Syahnaz, membuat gelenyar aneh semakin menguasai tubuh Syahnaz. Perempuan itu menahan napasnya saat merasa lidah Gibran kembali menyentuh permukaan lehernya.
“You don't need the answer,” jawab Syahnaz pelan. “Because i love you,” timpal Gibran. Syahnaz terheran. “Jawaban dari pertanyaan kamu tadi,” lanjut Gibran.
“Nas.” Syahnaz masih diam tak langsung menjawab. Ia membuka matanya menatap Gibran lekat.
“Maksud kamu why am i let you to fucked me?” tanya Syahnaz. Gibran mengangkat wajahnya menjauh dari leher Syahnaz kemudian menatap Syahnaz dengan tatapan tak percaya.
“It’s not fucked, we’re making love.”
Syahnaz terdiam. Dia gamang seketika, tak berani menjawab pernyataan Gibran barusan.
“Aren’t we?” Gibran melanjutkan ucapannya, tangannya yang tak tinggal diam sedari tadi. Matanya masih lekat menatap mata cantik Syahnaz. Lelaki itu tak bohong saat mengumandangkan bahwa apa yang mereka— dia lakukan bukan hanya untuk nafsu semata. Gibran masih sangat yakin kalau Syahnaz masih menyimpan rasa cinta itu di dalam dadanya, kalau sebenarnya dia dan Syahnaz masih saling mencintai walau ego perempuan itu menampiknya.
“You still love me, Nas”.” “I’m not—” “If you’re not, You’re not gonna be here lying down under me*.”
Syahnaz terpaku, dirinya seakan tertangkap basah oleh Gibran. Lagi pula memang benar, untuk apa ia rela berada dalam kondisi ini jika sudah tidak mencintai Gibran. Syahnaz hanya tidak ingin mengakui itu.
“It'll be for the last,” cicit Syahnaz. Iya, Syahnaz kembali bertekad, untuk terakhir kalinya— kali ini saja dia meruntuhkan tembok tinggi yang selama ini ia bangun untuk Gibran. Bahwa untuk yang terakhir kalinya ia perbolehkan Gibran melakukan apapun kepada tubuhnya.
Sementara Gibran tidak menjawab. Lelaki itu justru semakin mengikis jaraknya dengan Syahnaz. Mengarahkan sesuatu di bawah sana untuk menyapa inti Syahnaz hingga membuat gadis itu melenguh pelan.
“Nas, may I?” Gibran bertanya sekali lagi, memastikan ia mendapat persetujuan penuh dari si perempuan.
“Use your condom,” jawab Syahnaz.
Lantas Gibran membebaskan Syahnaz dari kungkungannya sebentar. Ia meraih satu bungkus lateks pengaman dari laci di sebelah ranjangnya. Membuka bungkus berwarna merah itu dan memakainya dengan lihai. Setelahnya ia kembali mendekati Syahnaz, mengungkung tubuh ramping milik Syahnaz dengan posesif.
“You can tell me to stop if you want,” ucap Gibran. “Do it before I change my mind.”
Gibran mendekat, menyatukan kembali bibir mereka dalam satu cumbuan. Cumbuan itu terlalu lembut hingga membuat Syahnaz merasa sesak. Syahnaz melenguh, ia membalas ciuman Gibran dengan pelan pula. Mereka saling berbagi perasaan melalui ciuman itu. Perasaan cinta, rindu, kecewa, dan penyesalan dapat dengan jelas Syahnaz rasakan melalui tiap-tiap lumatan dan hisapan yang Gibran berikan.
“Gibran.” Seakan terkena sengatan listrik, Syahnaz melenguh setengah memekik manakala ia merasakan pertemuan antara inti tubuhnya dengan milik Gibran. Dorongan itu dilakukan secara perlahan namun pasti. Mereka berdua saling menatap, Syahnaz bahkan hisa merasakan hembusan napas berat milik Gibran menerpa wajahnya.
“Gibran— fuck.” Lenguhan Syahnaz semakin keras saat ia merasa miliknya penuh dan hangat. Milik Gibran memenuhi Syahnaz dalam satu hentakan. Gibran kembali menyembunyikan wajahnya di antara ceruk leher Syahnaz. Tangannya menelisik masuk menuju punggung Syahnaz, menarik perempuan itu masuk ke dalam dekapannya. Gibran mendekap Syahnaz dalam penyatuan mereka.
Lelaki itu diam sepersekian menit sebelum akhirnya membawa pinggulnya bergerak baik turun secara perlahan dan lembut. Syahnaz meremang, sesekali meringis merasakan tiap-tiap gesekan yang tercipta dari penyatuannya. Rasanya menyesakkan sekaligus memabukkan. Entah kenapa Syahnaz justru merasa sesak dalam dadanya lebih mendominasi daripada gairahnya. Gerakan mereka lebih seperti bahasa tubuh yang tidak pernah bisa diberikan dengan sebuah perkataan.
“Gibran ….” Ucapan Syahnaz tertahan di ujung kerongkongannya, berganti dengan deru napas yang kian memburu. Terkadang perempuan itu mendesah manakala Gibran menghujam intinya dengan perlahan dan dalam.
Mendadak tubuh Syahnaz menegang manakala ia mendengar samar-samar isak tangis yang berasal dari lelaki di atasnya. Dadanya kian sesak saat isak itu semain nyaring terdengar oleh rungunya. Gibran tidak lantas mengangkat kepalanya dan menatap matanya lagi. Syahanz kelimpungan, gemuruh di dadanya kian nyata dan matanya mulai ikut memanas.
“Gibran.” “Syahnaz, don't leave me.”
Syahnaz masih diam.
“Please stay … please.” Gibran mengajukan satu pinta kepada Syahnaz bersamaan dengan isaknya yang kian mengudara. Syahnaz lantas mengangkat kedua tangannya yang bergetar, jemarinya masuk ke dalam ruas-ruas rambut hitam milik Gibran, mengusapnya pelan berusaha memberikan ketenangan.
“I'm here,” ucap Syahnaz lirih.
Isak Gibran tak lantas berhenti, bahunya berguncang lebih hebat dari sebelumnya, dekapannya pada tubuh Syahnaz semakin mengerat.
Gibran benar-benar di ambang pilu. Lelaki itu jelas tidak bisa rela jika setelah ini Syahnaz benar-benar pergi dari hidupnya. Gibran tidak bisa membayangkan bagaimana kalutnya dia jika hal itu benar-benar terjadi. Luka yang ia berikan kepada Syahnaz nyatanya dapat ia rasakan juga.
“You'll leave me after this,” ucap Gibran lirih. “I'm not, G. I'm here.”
Usapan Syahnaz pada rambut Gibran tak berhenti selama beberapa menit hingga isak lelaki itu mereda.
“G?” “Hm?” “Masih mau nangis? Nggak mau … lanjut dulu?”
Pertanyaan Syahnaz kontan membuat Gibran mengangkat wajahnya. Syahnaz hampir saja tertawa saat melihat muka kusut Gibran dengan mata berair dan hidungnya yang memerah. Syahnaz berpikir efek alkohol yang Gibran tenggak memicu perasaan Gibran secara emosional.
Syahnaz tersenyum, mengusap wajah Gibran lembut, menghapus jejak air mata yang tersisa di kedua pipi lelaki itu.
“Itu … masih di dalem loh.” Syahnaz bercicit pelan. Sejak tadi dirinya memang merasa kurang nyaman karena di bawah sana, Syahnaz masih dipenuhi oleh Gibran selama lelaki itu menangis.
“Mau lanjut?” tanya Gibran dengan suara seraknya. Syahnaz mengangguk pelan. Gibran mengecup pelipis Syahnaz lembut sebelum kembali bergerak di atas gadis itu.
“Nas, I love you.”
Gibran berucap ditengah pergerakannya. Di sela-sela erangannya yang kian memberat. Syahnaz menjawab Gibran dengan lenguh dan desah yang kian resah. Gejolak itu kembali datang meski rasa sesak masih mendominasi.
“Gibran—” “Don't leave me, please.” “I'm here— fuck Gibran.”
Lenguhan keduanya semakin mengudara, di pertengahan malam mereka merayakan perpisahan sekaligus pembuktian kasih yang kasat mata. Disertai dengan peluh dan tubuh yang saling bergesek dengan ritme yang kian meningkat. Entah benar atau salah, Syahnaz dan Gibran telah merobohkan dinding di antara mereka. Setidak-tidaknya hingga lenguh itu berubah menjadi desah, hingga sampai pada titik puncak yang mereka damba selama ini. Atau saat keduanya mengerang keras sembari menyebutkan nama masing-masing manakala suatu yang bergejolak itu sampai dan meledak menuju puncak kenikmatan.
Gibran dan Syahnaz merayakan perpisahan dengan cara mereka, merayakan kefanaan yang mereka cipta sendiri. Terakhir, untuk yang terakhir kalinya.
***
“Cowok itu … Nathaniel Aldrich.” Ucapan Gibran menggantung, ia melirik Syahnaz sejenak. Setelah malam panjang yang menyesakkan sekaligus menggairahkan mereka usai, Syahnaz dan Gibran berbaring bersama di atas tempat tidur sang pria. Gibran mendapatkan Syahnaz di dalam dekapannya, memainkan rambut perempuan itu sama seperti saat mereka masih bersama. Sementara si perempuan masih mengumpulkan kesadarannya setelah pelepasan hebat yang ia peroleh.
Syahnaz menaikkan satu alisnya menunggu perkataan Gibran selanjutnya. Gibran membuang napasnya pasrah, “So is that guy?”
“Not your business, right?” jawab Syahnaz pelan. Gibran mengangguk ragu, mengiyakan. Sebab nyatanya memang bukan urusannya lagi. Namun, mengetahui fakta bahwa Syahnaz sudah jatuh ke pelukan laki-laki lain tak lantas membuat Gibran baik-baik saja. Ada denyut nyeri di dalam hatinya yang merambat hingga ke sekujur tubuh. Dan kenyataan bahwa semuanya telah berubah dalam satu malam membuat rasa sesak yang Gibran rasakan kian menjadi.
“Kalau aku bisa, aku pengen minta waktu buat berhenti di sini, di detik ini. Waktu di mana aku bisa peluk kamu kayak gini, cium kamu kayak tadi.”
Syahnaz terdiam. Ucapan Gibran terlalu lirih.
“Aku tahu aku bakal jadi orang yang paling nggak tahu diri kalo aku minta kamu buat stay, i'm such a bastard, but i really love you, Nas. I can't lose you.”
“But i can't stay, Gibran,” jawab Syahnaz lirih. Ia melonggarkan pelukannya, kemudian mengganti posisinya menjadi duduk diatas kasur. Tangannya mengangkat tinggi-tinggi selimut putih milik Gibran untuk menutupi tubuhnya.
“Why?” Ada nada keputusasaan yang tercipta dari suara Gibran.
Syahnaz menghela napasnya. Ia mengusap wajah cantiknya pelan sebelum kembali membawa netranya untuk menatap Gibran.
“Let me ask you something, did you still love me?” “I do.” “Atau kamu cuma merasa bersalah atas apa yang kamu lakukan ke aku dulu?”
Gibran terdiam, lelaki itu bingung ingin menjawab apa.
“That's the point, Gibran. Rasa kamu ke aku itu bukan cinta tapi rasa bersalah,” tambah Gibran.
“I love you, Nas.” “You loved me.“ “Kamu nggak bisa ngerasain? Really? I am falling for you, bahkan sampai detik ini.”
Syahnaz menghela napas, “Sometimes i can feel your love, sometimes i'm not. Kayak tadi, i really can feel your love, tapi ketika kamu minta balik sama aku dan bilang akan memperlakukan aku lebih baik dari sebelumnya, that's not love but your guilty.”
Gibran terdiam.
“Kita nggak bisa bareng, Gib. Kamu nggak akan dewasa kalau sama aku,” tambah Syahnaz. Nada bicaranya lirih dan bergetar, mata perempuan itu kembali memanas.
Sementara Gibran masih setia dengan diamnya. Dadanya seakan dihantam oleh ribuan batu besar, terasa menyesakkan sekaligus menyakitkan.
Syahnaz mendekat, ia raih rahang Gibran untuk ia sentuh. Matanya menatap lekat iris lelaki itu.
“You deserve better, you have to move on. Hidup kamu harus berjalan, Gibran. Dan itu bukan sama aku, temukan perempuan lain yang lebih dari aku. Aku nggak bisa, kita nggak bisa. Kita toxic untuk satu sama lain, please let me go.”
Syahnaz menguatkan dirinya sebisa mungkin. Kali ini dia tidak akan membiarkan air matanya turun barang setetes. Sebab jika itu terjadi, Syahnaz tahu Gibran akan semakin mengikatnya dan memintanya untuk tidak pergi.
Gibran meraih Syahnaz, memeluk tubuh mungil perempuan itu dengan erat, menumpahkan segala sesak dan nyeri dalam tubuhnya. Menjadikan Syahnaz tumpuan untuk segala rasa sakitnya.
Rasanya sesak, Gibran tidak tahu jelas apa namanya. Yang pasti lelaki itu merasa hantaman itu semakin keras, hingga ia tidak bisa menghirup oksigen di sekelilingnya dengan benar. Bagaimana pun dan sampai kapan pun, Gibran tidak akan pernah bisa meminta Syahnaz untuk kembali dan tetap berada di sisinya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Gibran merasakan patah hati terbesar, patah yang teramat hingga membuat Gibran hancur lebur dari dalam.