Wet Dream

cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity

Please be wise!

Kalea menatap ke luar jendela manakala ia mendapati sedikit embun menempel pada jendela apartemennya. Di luar sedang hujan, Kalea baru saja menyelesaikan satu lukisannya. Perempuan itu mengikat rambutnya ke atas dengan asal. Kemeja yang ia kenakan sedikit turun hingga memperlihatkan tulang selangkanya yang Nampak jelas. Untuk ukuran perempuan, tubuh Kalea jauh dari kata ideal. Perempuan itu memiliki berat badan di bawah angka yang seharusnya. Tubuhnya yang tinggi lantas membuat perempuan itu semakin terlihat kurus. Namun, proporsi tubuhnya tampak bagus untuk seukuran orang kurus. Hal itu dikarenakan akhir-akhir ini Kalea memperhatikan kesehatan tubuhnya dengan seksama. Dia sering berolahrga setidaknya dua jam sehari pada pagi, juga setiap weekend dia rutin pergi ke gym langganan Gibran. Terkadang bersama lelaki itu, kalau Gibran tidak bisa ia akan pergi sendirian.

Omong-omong soal Gibran. Lelaki itu belum datang juga setelah tiga puluh menit lalu ia mengatakan akan mengunjungi Kalea di apartemen. Hubungannya dengan Gibran semakin dekat, layaknya sepasang kekasih yang sedang kasmaran dan diselimuti dengan kabut gairah tiap bertemu. Kalea menikmatinya, berakhir seperti ini dengan Gibran adalah keinginannya, bahkan lebih. Kalea jelas serius menyukai lelaki itu semenjak pertemuan pertama mereka. Perempuan itu bisa melakukan apa saja agar Gibran terus bersamanya. Dan hubungannya yang seperti ini tidaklah menjadi hambatan besar bagi Kalea.

Kalea tersenyum menatap hasil karyanya yang baru saja selesai. Sedikit ia kembali mengayunkan kuasnya agar lukisan itu semakin sempurna. Kalea melukis taman bunga dengan hamparan padang rumput terdapat satu kursi di ujungnya, dengan langit biru juga matahari penuh berwarna kuning di atasnya. Lukisan Kalea selalu menggambarkan suasana hatinya dan saat ini suasana hatinya sedang hangat sehangat lukisannya. Seorang Gibran Lingga Adytama adalah alasannya.

Babe!”

Terdengar seruan seseorang dari luar sana, itu Gibran. Kalea paham betul suara lelaki itu. “Di sini!”

Suara Gibran tak terdengar lagi, Kalea kembali fokus pada lukisannya. Ia kembali mengayunkan kuas kecil di tangan kanannya. Perempuan itu terlalu fokus sampai ia tidak sadar Gibran sudah berdiri di belakangnya hingga tangan kekar Gibran melingkar pada pinggang rampingnya.

“Serius banget.” Suara Gibran lantas masuk ke dalam telinga kirinya, napasnya menerpa permukaan leher Kalea hingga perempuan itu sedikit bergidik dibuatnya. Kalea menoleh, tepat saat itu yang ia tangkap adalah presensi Gibran yang sudah lebih dulu menoleh ke arahnya. Jarak antara mereka tidak ada seinci, bahkan hampir menempel. Dari jarak sedekat ini tidak hanya senyum Gibran yang dapat Kalea lihat dengan jelas, deru napas hangat lelaki itu pun dapat kKalea rasakan menerpa wajahnya.

“Hai,” ucap Kalea balas tersenyum, Gibran menunduk. Menempatkan kepalanya bertumpu pada pundak perempuan itu.

“Lagi bikin apa?” tanya lelaki itu pelan.

“Pemadangan,” jawab Kalea sekenanya.

Gibran lantas menempatkan tubuhnya untuk di kursi Kalea. Posisinya tepat di belakang gadis itu. Kursi yang Kalea tempati cukup luas tanpa penyangga di atasnya. Gibran kembali merengkuh Kalea dari belakang, menghirup aroma yang akhir-akhir ini membekas di benaknya dengan rakus.

“Beneran pake kemeja aku,” ucap Gibran. Tangannya mengusap perut Kalea dari bawah, sepersekian detik kemudian Gibran menelusup masuk, membuat Kalea sejenak menahan napas dan mengempiskan perutnya.

“Iya, kemejanya wangi kamu,” jawab Kalea pelan.

“Nggak kamu cuci?”

“Aku nggak mau wanginya luntur.” Kalea merengut, perempuan itu menjawab dengan nada manja di sela-sela ucapannya, membuat Gibran terkekeh saat mendengarnya.

“Kangen aku?” tanya Gibran usil, Kalea mengangguk mantap. “Kangen.” “Aku juga,” jawab Gibran. Ia kembali menumpukan kepalanya di bahu Kalea, sesekali mengecup pundak perempuan itu yang tidak tertutup kemejanya sebab terlalu kebesaran, “sampe mimpiin kamu.”

Kalea menoleh tersenyum, “That a wet dream?” tanyanya usil. Gibran mengangguk lemah, tangan dan bibirnya sudah tidak diam sedari tadi, membuat suhu tubuh Kalea seketika naik dan meremang. Hujan masih belum reda, justru bertambah deras. Suasana yang mendukung lantas membuat sisi liar Kalea naik dengan begitu mudah.

“Tanganku kotor,” ucap Kalea pelan. Gibran tak menggubris, lelaki itu justru semakin menggencarkan aksinya untuk menjelajahi leher Kalea. Memberikan beberapa tanda kepemilikan di sana.

“G─” “Hmm?” “Awas dulu ah, aku mau mandi.”

Kalea berusaha menyingkirkan tangan Gibran yang sedari tadi mengusap perutnya, ia menggeser tubuhnya menjauhi Gibran. “Katanya mau recreate mimpi aku?” protes Gibran. Kalea terkekeh, perempuan itu lantas bangkit dan berlalu hendak menuju kamar mandi.

“Mandi dulu, aku kotor abis ngelukis.” “Nggak usah mandi percuma nanti mandi lagi.” “Lengket, G.” “Ya udah aku ikut.”

Gibran ikut bangkit, ia melepas satu persatu kancing kemejanya sembari berjalan mendekat ke arah Kalea. Sementara perempuan hanya mendengkus dan lantas masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Gibran.

Babe!”

Gibran kembali berseru memanggil Kalea. Lelaki itu lantas mengikuti langkah Kalea ke dalam kamar mandi. Ia menghela napas saat mendapati Kalea sudah masuk ke dalam bathup dan membaringkan tubuhnya dengan kepalanya yang mendongak sambil terpejam.

“Ikut.” “Ya sini.”

Gibran lantas menanggalkan sisa kainnya dan langsung ikut masuk ke dalam bathup bersama Kalea. Lelaki itu mengambil posisi di belakang Kalea, ia lantas meraih kepala Kalea agar bersadar padanya. Kalea menuruti, lantas ia sedikit mendongak untuk menatap Gibran dan memberikan senyum termanisnya.

Gibran lantas merengkuh Kalea, membawa tangannya untuk menggenggam tangan Kalea. Dagunya bertumpu di kepala perempuan itu. Sejenak mereka menikmati sapuan air hangat yang menyentuh permukaan kulit mereka. Satu kata yang dapat mendefinisikan perasaan Kalea malam ini: nyaman. Berada di dekat Gibran adalah sebuah kenyamanan hakiki yang belum pernah Kalea rasakan selama 24 tahun ia hidup. Kalea menyukai semua yang ada pada diri Gibran. Aromanya, sentuhannya, perlakuannya, senyumnya, deru napasnya bahkan sudah menjadi candu bagi Kalea.

“Lea ….” Mendadak Gibran mengerang tertahan manakala Kalea bergerak sedikit untuk mencari posisinya nyamannya.

“Ha? Kenapa?” tanya Kalea polos. Ia melirik Gibran. Kerutan di dahinya tercipta jelas, apalagi lelaki itu sampai terpejam karenanya.

“Jangan gerak, sakit,” jawab Gibran pelan.

Kalea membeo, ia menaikkan alisnya sedikit sebelum kemudian terkekeh geli. “Oh, iya keras banget.”

“Kalea.” Gibran menggeram lagi, Kalea hanya tertawa. Ia lantas meraih kedua tangan Gibran dan menempatkannya di atas perutnya.

You can touch me there.” Kalea menggerakan tangan Gibran semakin naik menuju dadanya. Seketika perempuan itu melenguh manakala ia merasakan remasan lembut namun menekan pada puncak dadanya.

Gibran tersenyum, ia mengirup feromon Kalea dalam-dalam dan lantas mengecup leher Kalea, menyesapnya hingga tada keunguan kembali muncul di sana. Napas Kalea tertahan saat ia merasakan tangan giri Gibran semakin turun dari pahanya menuju intinya.

“G, mandi dulu ya?” tawar Kalea. Gibran berdeca, ia melepaskan cumbuannya pada leher Kalea dan menatap perempuan itu dengan tatapan kesal.

“Ya?” ulang Kalea sangsi. Gibran menghela napas, “Liat tangan kamu.” Kalea lantas menyodorkan kedua tangannya pada Gibran. “Udah bersih,” “Mau keramas,” ucap Kalea lagi. Gibran melipas bibirnya tampak berpikir, “Nanti aja sekalian.”

Kalea diam, mempertimbangkan. Ia sedikit merasa kasihan pada Gibran, lelaki itu sudah menahannya sejak tadi, miliknya pun sudah mengeras dan Kalea tidak sampai hati untuk menundanya lagi. Tidak dipungkiri kalau dirinya juga sudah naik hingga intinya mengeluarkan sedikit cairan.

Tanpa Kalea ketahui Gibran menarik penyumbat air yang berada di bawah bathup hingga sedikit demi sedikit air itu berkurang.

“Kok dibuang airnya?” protes Kalea. “Biar kamu nggak kedinginan,” jawab Gibran. Kalea hendak memprotes lagi, tapi ucapannya tertahan di kerongkongan manakala bibirnya disambar oleh Gibran begitu saja.

Gibran melumat bibir tipis Kalea lembut dan penuh perasaan. Tangan kanannya berusaha mempertahankan posisi kepala Kalea agar tetap menoleh ke arahnya. Kalea sempat terkejut, tapi perempuan itu lantas mengikuti permainan Gibran. Ia membalas ciuman Gibran, melumat bibir lelaki itu dengan lembut pula. Kalea sedikit melenguh saat ia merasa punggungnya di usap oleh Gibran. Usapan sensual Gibran lantas kembali menyulut gairahnya, Kalea beberapa kali menahan napas dan mengkepiskan perutnya. Perempuan itu memekik kecil saat Gibran menggigit bibirnya. Gibran lantas menginvasi rongga mulut Kalea membelitkan lidahnya dengan milik Kalea.

Ciuman mereka semakin intens, suhu dingin pada tubuh Kalea berubah menjadi panas. Dahi perempuan itu bahkan sampai mengeluarkan keringat.

Gibran melepas cumbuannya saat ia merasa Kalea akan kehabisan napas. Kalea terengah dengan mulut terbuka, ia menatap Gibran yang netranya sudah menggelap dipenuhi gairah. Kalea balas menatap Gibran sayu. Tatapan mereka tidak pernah berbohong, bahwa mereka menginginkan satu sama lain, bahwa mereka sama-sama ingin menghabiskan malam ini dengan tubuh yang saling menyatu, bahwa mereka sama-sama ingin menuju puncak kenikmatan yang tiada tara. Gibran lantas menyambar kedua dada Kalea yang sedari tadi naik turun sebab perempuan itu masih terengah. Ia lahap satu sisi buah dada Kalea dan satunya ia remas dengan tangan besarnya. Kalea pasrah, gadis itu hanya bisa melenguh dan meyerukan nama Gibran sekeras mungkin.

“Gibran─” Kalea meremas rambut hitam Gibran, menyalurkan seluruh perasaannya yang bergejolak di sana. Perempuan itu lantas bergerak membenarkan posisinya, membuat Gibran mau tidak mau melepaskan bibirnya dari dada Kalea.

Perempuan itu berpindah, mengahdap Gibran dengan kedua tungkainya berada pada sisi kanan dan kiri Gibran. Gibran menggeram manakala ia merasakan intinya dan inti Kalea bergesekan di bawah sana.

“Kalea …” “Ya?” “I want you tonight,” bisik Gibran dengan suara beratnya. Kalea meremang, desahan kecil keluar dari mulutnya. Matanya kian sayu, menandakan gairah seksualnya sudah mendominasi tubuhnya.

What did I do in your wet dream?” tanya Kalea pelan. Tangan perempuan itu menjelajahi dada bidang Gibran, lantas semakin naik menuju rahang Gibran. Kalea mengusapnya, sesekali ia bubuhkan satu kecupan di sana.

Gibran bahkan sudah lupa dengan mimpinya sebelum lelaki itu tiba di sini. Ia kembali diingatkan oleh pertanyaan seduktif Kalea yang menusuk gendang telinga hingga mmebuat bulu kuduknya berdiri.

Like this.” Gibran mengarahkan tangan Kalea pada miliknya, menuntun tangan kecil itu untuk mengusap dan memanjakannya. Lelaki itu menggeram tertahan, ia mendongak dengan mata terpejam manakala tangan Kalea mulai beraksi memanjakannya.

Like this?” tanya Kalea. Gibran hanya bisa mengangguk, otot-otot pahanya mnedadak mengejan, urat-uratnya bahkan menonjol seperti ingin keluar. Desahan resah Gibran mengudara, memenuhi seluruh ruang kecil yang kedap suara ini.

“Oh Kalea ….” “You like it?” “A lot.”

Kalea tersenyum, ia mempercepat gerakan tangannya. Naik turun dan sesekali memutar. Kalea benar-benar memanjakkan milik Gibran. Bagi Gibran tangan Kalea seperti memiliki sihir yang bisa membuatnya terbang ke awan-awan hanya denga disentuhnya saja. Gibran sudah mulai gila, semakin gila saat perempuan itu mempercepat tempo kocokannya hingga milik Gibran membesar dan caira precum-nya semakin keluar dan meluber di antara jari-jari Kalea.

Shit, Kalea.”

Lenguhan Gibran semakin keras seiring dengan cairannya yang menembak hingga membasahi lengan Kalea. Gibran sampai pada klimaksnya hanya dengan permainan tangan Kalea. Lelaki itu terengah, kedua tangannya lunglai di samping bathup, lekumnya naik turun. Gibran masih bersuaha mengatur napasnya.

You’re amazing.” “It will be more.” Ucapan Kalea yang menggoda lantas tergantikan dengan lenguhannya yang mengudara bersamaan dengan Gibran. Keduanya melenguh keras manakala Kalea mendorong milik Gibran agar memasuki intinya dengan perlahan. Gibran kontan meraih pinggul Kalea, merematnya sedikit keras.

“Oh.” “Fuck, Kalea.”

Gibran dan Kalea mendesah bersama saat inti mereka sudah menyatu secara sempurna. Kalea menghela napasnya, ia tak lantas bergerak guna menyesuaikan rasa nikmat bercampur geli di bawahnya.

Move,” titah Gibran. Kalea bergerak perlahan dengan senang hati. Gerakannya tak lantas membuat Gibran puas sebab terlalu pelan. Lelaki itu menggeram diikuti lirihan kecil yang keluar dari mulut Kalea. Keduanya sama-sama merasakan sensasi ngilu yang menggelikan saat inti mereka saling bergesek di dalam sana.

“Mau cium,” pinta Kalea. Gibran lantas menyambar bibir ranum Kalea dengan tak sabar. Mereka saling menginvasi satu sama lain, saling melumat dan mengecap dengan rakus dan tak sabar seakan tidak ada lagi hari esok untuk mereka bercinta.

Gemuruh di dada Kalea kian terasa manakala ia merasa tangan Gibran merambat naik dan menyentuh area dadanya dengan seduktif. Rasanya sangat menggelikan hingga perutnya seperti digelitiki oleh ribuan kupu-kupu. Gibran melepaskan cumbuannya dan beralih pada leher jenjang Kelea. Lelaki itu kembali membubuhi tanda kepemilikan di sana, tanpa peduli sudah seberapa banyak tanda yang Gibran buat, Gibran hanya ingin seluruh dunia tahu bahwa perempuan yang berada di atasnya adalah miliknya seorang.

Kalea kembali meremat rambut Gibran. Perlahan ia mempercepat tempo gerakannya, membuah desah dan rengekannya semakin terdengar. Perempuan itu mendongak dengan matanya yang sesekali memejam. Tangan Gibran lantas turun menuju area klitorisnya, mengusap area sensitive itu dengan seduktif dan sedikit kasar.

“Gibran.” “Oh, fuck.” “Don’t─ah.”

Gerakan Kalea melambat. Perempuan itu kehilangan fokusnya, tangan Gibran masih bermain-main dengan klitorisnya, membuat tubuh Kalea seketika mengejang.

“Jangan berhenti, Lea.” “Nggak tahan.” Kalea berucap lirih dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Entah apa yang ada pada jari Gibran hingga membuat perempuan itu menangis dan merengek minta ampun.

“Gerak Lea.” “Gib─” “Lea.”

Gibran menggerakan pinggul Kalea agar kembali bergerak, ia bahkan ikut menggerakan miliknya, membantu Kalea agar lebih cepat menuju pelepasan. Lenguh dan desah keduanya kembali mengudara. Ruangan sempit dan lembab itu mendadak dipenuhi dengan suara kotor khas penyatuan inti dua insan. Juga lenguh dan desahan keras yang mengudara dengan lepas. Gibran dan Kalea mendesah keras dengan leluasa, toh lagipula tidak akan yang akan mendengar.

“Gibran udah ….” “Belum Lea ….” “Geli, G─oh.” “Udah mau sampe?”

Pertanyaan Gibran dihadiahi sebuah anggukan kecil dari Kalea. Perempuan itu meraih kepala Gibran untuk ia dekatkan pada dadannya. Kalea meringis dengan dahi berkerut dan mata terpejam, ia meremat keras rambut Gibran dengan kepalanya yang mendongak saat merasa sesuatu yang ia tunggu-tunggu akan meledak dalam sekejap.

“Bareng ya, Lea.” “Nggak tahan ….” Kalea semakin lirih, ia bahkan berusaha sekuat tenaga untuk menjawab ucapan Gibran. “Sebentar, oh─ Lea … Sayang ….” “Ah, Gibran.”

Gerakan keduanya semakin membabi buta. Tujuan mereka hampir sampai, pelepasa mereka sudah diujung tanduk. Lantas dalam tiga hentakan dalam dan kuat, dalam lenguhan panjangnya, Gibran dan Kalea sampai pada puncaknya, cairan Gibran menyembur memenuhi dinding rahim Kalea, menyebabkan perasaan hangat memenuhi inti Kalea. Perempuan itu bahkan melengkingkan tubuhnya. Kalea bergetar dengan desah yang terputus-putus. Napasnya terengah dengan peluh yang membanjiri tubuhnya.

Tangan perempuan itu lantas terkulai di samping Gibran, Kalea menyandarkan kepalanya pada bahu Gibran dengan desahannya yang sesekali terdengar saat Gibran menggerakan miliknya perlahan, mengeluarkan sisa-sisa pelepasannya di dalam rahim Kalea.

“Mau dilepas sekarang?” tanya Gibran pelan, suaranya mendadak serak sebab sebelumnya ia mendesah terlalu keras. Kalea menggeleng, “lemes.”

“Kalo nggak dilepas nanti ada ronde kedua loh,” ucap Gibran usil. Kalea mendengkus, ia lantas bergerak melepaskan penyatuannya dengan Gibran secara perlahan. Membuat Gibran kembali melenguh tertahan.

“Mandi dulu,” pinta Gibran. Kalea kembali menggeleng lemah. “Capek.” “Kita mandi dulu baru tidur, ya?” tawar lelaki itu. “Tapi beneran mandi, ya?” “Iya, Sayang.”

Gibran mengecup bibir Kalea gemas sebelum ia membawa tubuh perempuan itu untuk bangkit dan membersihkan diri.

***

note: kalau mau baca versi lengkap bisa ke karyakarsa ya <3