Merci, Queen
cw // mature contents. Explicit mention of sexual activity
Please be wise!
Malam ini rasanya sunyi, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri di kala tidurku. Haidan belum pulang sejak sore tadi, suamiku mempunyai agenda tambahan bersama Arsen dan Gibran. Baru dua jam, namun rasanya sudah rindu sekali. Tidak biasanya aku seperti ini.
Padahal sudah lebih dari satu tahun kami tinggal bersama dalam satu atap. Segala kebiasaan yang sering dilakukan Haidan sudah ku hafal di luar kepala. Haidan masih sering menaruh handuknya sembarang di atas kasur selesai mandi di pagi hari, dia juga sering lupa membuang puntung rokok bekasnya saat asbak sudah penuh. Dua kebiasaan menyebalkan yang tidak aku sukai dari Haidan. Tapi selain dua hal itu, ada banyak kebiasaan yang sering dia lakukan, yang terkadang membuat suatu kekosongan saat dia absen melakukannya. Seperti setiap pagi, setiap dia bangun dari tidurnya, dia (pasti) tidak pernah absen untuk mencium kening dan bibirku sebelum beranjak. Atau saat pulang ke rumah, Haidan tidak pernah absen melakukan hal yang sama saat pertama kali netranya menyadari presensiku. Atau saat mau tidur dia bahkan merengkuh tubuhku erat-erat seakan tidak mau melepaskan.
Kalau dibilang aku gila Haidan, memang. Aku memang sudah dibuat gila oleh segala sesuatu yang ada dalam diri lelaki itu. Aku hafal aroma tubuh Haidan di luar kepala. Bahkan sekarang, sempat-sempatnya saat aku tertidur aroma yang membuatku candu itu menyeruak masuk menuju indra penciumanku.
Aku lantas membuka mata dan melihat presensi priaku sedang berjalan menuju lemari pakaian kami dengan tubuh bagian atasnya yang polos tanpa sehelai kain. Ternyata aku tidak bermimpi, aku dapat jelas melihat punggung lebar dan polos Haidan di depan sana. Maka segera aku beranjak dan melompat untuk memeluk lelaki itu dari belakang. Aku merasa Haidan sedikit terperanjat saat aku menubruk tubuh polosnya dan menciumi punggung dan tengkuknya dengan lembut.
“Your smell is really good.”
Aku tidak berbohong saat mengatakannya, aroma tubuh Haidan itu terbaik. Sepertinya kekasihku itu baru saja selesai mandi, masih tercium jelas wangi maskulin sabun mandi milik Haidan. Aroma aqua segar yang bercampur dengan feromon Haidan berhasil membuat diriku kalang kabut jadi terbuai dan bergairah.
“Kok bangun?”
“Kamu pulang nggak nyapa aku.” Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah merajuk dengan bibir mengerucut di balik punggungnya.
Haidan kemudian berbalik dan berakhir menatapku, tangannya yang masih melingkar di pinggang rampingku terkadang membelai pelan pinggangku hingga membuat aku berjengit geli.
“Nyapa kok, seperti biasa.”
“Bohong.” Aku berucap lirih sambil mendekatkan tubuhku dengannya, menumpukkan dagu kecilku pada bahunya, dan semakin melingkarkan kedua tanganku untuk memeluknya. Entah kenapa malam ini rasanya aku benar-benar merindukan Haidan dan ingin bermanja-manja dengannya.
“Kamu tidurnya terlalu nyenyak, jadi nggak kerasa.”
Haidan terkekeh geli menjawab pertanyaanku, tangannya yang masih berada di pinggangku lantas menelusup masuk ke dalam piyama berbahan satin milikku untuk mengusap permukaan kulitku. Napasku berhembus kasar di atas bahunya. Aku kegelian tapi rasanya aku menikmati segala sentuhan seduktif yang Haidan lakukan kepadaku.
“Lagi mimpiin kamu soalnya.”
Dia terkekeh lagi sambil mengendus leherku, “Mimpiin apa?”
“Dicium kamu.”
Haidan lantas menjauhkan wajahnya, kemudian secara spontan meraup birai merah mudaku untuk dia cumbu dan sesap sesaat namun cukup membuat aku terbuai dengan manis bibirnya. Aku tentu saja menerimanya senang hati dengan membalas tiap-tiap lumatannya.
“Sekarang bukan mimpi lagi,” ucapnya sesaat setelah melepaskan pagutan kami. Aku terkekeh geli, tanganku berpindah melingkar pada leher jenjangnya. Terlihat jelas urat-urat wajah dan leher Hairan sudah tegang, terlebih saat aku mengusap tengkuknya dengan lembut dan seduktif.
“Vall, jangan disana,” ucapnya lirih.
“Kenapa?”
“Nanti kelepasan.”
Aku mengulum senyum dan terus melancarkan aksiku pada tengkuknya. Menggoda Haidan adalah salah satu kegiatan favoritku. Aku suka melihat urat dan otot wajahnya yang tegang manakala aku usap tengkuknya. Aku suka mendengar ia mengerang lirih sambil menyerukan namaku dengan suara beratnya manakala aku menyentuh dada dan mengecupi perut atletisnya.
“Laper nggak?”
Aku melihat ekspresi bingung Haidan dengan satu alis terangkat sembari menatapku lamat. Tak ragu aku mendekat menciumi leher jenjangnya sebelum kemudian beralih menuju rungunya dan membisikkan sesuatu yang jelas aku tahu dapat membuat mulut Haidan mengatup dengan gigi yang saling bergemeletuk.
“If you do, then you can eat me now, babe.”
Lantas aku kembali merasakan benda kenyal nan manis kesukaanku itu menyambar labiumku dengan lembut dan penuh tekanan. Tangan Haidan bahkan berpindah ke tengkukku dan menekannya pelan guna memperdalam cumbuan kami. Sementara tangan yang masih bertengger di pinggangku juga tidak tinggal diam. Haidan mengusap tiap-tiap permukaan kulit pinggangku dengan lembut dan memutar yang kemudian bergerak menuju perutku. Ada gejolak yang meletup-letup di dalam perutku saat aku merasa bibirnya mencumbuku semakin dalam. Napasku tertahan, perutku mengempis manakala merasakan usapannya disana.
Haidan lantas mendorongku untuk bergerak tanpa melepaskan pagutan kami. Dia bawa diriku menuju ranjang milik kami dan merebahkan tubuhku di sana dan memenjarakan tubuh mungilku dalam kungkungannya. Aku terperanjat kala merasa tangan itu menarik atasan piyamaku ke atas. Aku lantas menanggalkan seluruh kain yang menempel pada tubuhku dengan tergesa, memamerkan segala bentuk lekuk tubuhku di hadapan Haidan dengan cuma-cuma. Kami kembali bertaut dengan tangan kami yang sibuk menggerayangi tubuh satu sama lain. Jika dulu aku malu-malu untuk mengeluarkan desah dan lenguhku dihadapannya, kini aku bisa dengan leluasa melenguh dan mendesah sekuat apapun akibat perbuatannya.
Ada suatu kekosongan yang tersisa manakala priaku itu melepas pagutan kami, aku terengah dengan mulut sedikit terbuka sambil menatapnya yang berada di atasku. Lekum Haidan naik turun seakan menahan semua gejolak dan hasrat yang perlahan muncul dalam dirinya. Tangannya bahkan tidak diam di bawah sana dan makin merambat ke atas.
“You know, di mimpiku kamu nggak cuma cium aku. You tease me and touch me until I can't breathe easily in a good way. I just wanna know what it's like for a real.“
“Touching you like this?”
Aku berjengit dan melenguh manja manakala aku merasa tangan kekar Haidan semakin naik ke atas dan memeras dadaku dengan sedikit keras. Tatapanku tak lepas dari netranya. Aku mengangguk lemah dalam lenguh resahku meminta Haidan berbuat lebih pada tubuhku. Lelakiku itu lantas tersenyum dan menghentikan aksinya.
“Babe!”
Aku layangkan sebuah protes dengan alis mengernyit tak terima yang di balas kekehan berat dari Haidan. “Seriously, what happened with you, sayang? Nggak biasanya gini?”
“My tattoo just miss your touch, badly,” ucapku dengan lirih. Tanganku lantas terulur mengusap tengkuk dan dada Haidan dengan seduktif mungkin.
“Touch me and feel me, babe.”
“Damn, I can't handle this version of you anymore.” Haidan berucap dengan suara beratnya, aku tersenyum miring, sambil mendekatkan wajahku padanya, kami bertaut kembali. Haidan lick my lips slowly and gently, lidahnya juga menerobos masuk dengan sopan dan aku menerimanya dengan senang hati. Rasanya candu sekali, seakan ada sesuatu zat yang membuatku merasa ingin terus dan terus menyesap birainya dengan rakus.
Haidan melepas tautan kami. Haidan terengah dengan labium yang sedikit terbuka, nafsuku memuncak manakala aku melihat labium merah muda milik Haidan yang basah akan bekas liur kami. Kemudian ia lantas menelusupkan kepalanya di antara tengkuk leherku, lidahnya beralih menari-nari diatas kulit leherku yang sebabkan aku melenguh dan memalingkan kepalaku untuk memberinya akses lebih.
Seperti biasa aku terbuai dengan semua sentuh dan laku Haidan pada tubuhku. Debaran jantungku tak berhenti sedari tadi dan bahkan semakin berdetak kencang manakala aku merasakan sesapannya yang semakin lama semakin kencang sembari tangan kekarnya menstimulasi buah dadaku. Aku mengerang dan mengejang. Haidan berhasil membuatku menengadah dengan mulut terbuka sembari mengeluarkan lenguh manja akibat ulahnya.
Haidan adalah pemain ulung.
Aku merasakan tangan kanannya turun perlahan mengusap tiap-tiap lekuk tubuhku menuju bagian selatanku. Aku berjengit lagi manakala kembali merasakan usapan seduktifnya di bawah sana.
“Already wet?“
“Huum. Do you feel that?“ Aku mengangguk sambil berbisik sebelum kemudian melenguh keras saat merasa tangannya menerobos masuk ke dalam. Aku mengerang, mendesah, dan melenguh di hadapan Haidan yang tersenyum pongah.
Habis sudah. Haidan mengoyak diriku dengan sebegitu gilanya sampai aku lupa diri. Habis sudah aku dibuatnya.
“Yes, right there, sayang.” “Fuck Haidan.“ “I want you so bad“
Haidan mengerang tertahan manakala aku menjepit jari-jarinya yang berada di dalam sana dengan mengejangkan otot-otot labiaku. Aku berteriak, berseru, dan mendesah keras-keras. Aku meledak menumpahkan segala cairan yang sedari tadi menunggu-nunggu untuk keluar bersamaan dengan gairah yang kian membara.
Haidan tersenyum ia kemudian menanggalkan satu-satunya kain yang masih melapisi bagian bawahnya dan melemparkannya ke sembarang arah.
Lagi dan lagi aku selalu terbuai dengan tubuh Haidan. Rasanya jantungku mencelos dan berdetak lebih cepat tiap aku melihat milik Haidan yang selalu mengoyak dan membuat hilang kewarasan berdiri tegak dengan pongahnya.
“Sayang mau di atas.”
“Sure.“
Tidak ada satu hal pun dari keinginanku yang dihadiahi kata 'tidak' dari Haidan. Haidan akan menuruti semua mauku dan semua permainanku tanpa terkecuali.
Haidan memanglah dominan, tapi aku adalah ratunya.
Aku bisa membuat lelaki itu bertekuk lutut di bawahku, menggeram dan menegangkan otot-otot dan saraf-saraf miliknya manakala tangan lentik milikku menyentuh setiap inci tubuhnya dengan seringan kapas. Manakala bibir tipis merah mudaku menciumi tiap permukaan kulitnya dengan rakus. Haidan akan kalah telak.
“Ah, Queen.“
“I am.“
Aku tersenyum puas di tengah-tengah permainanku pada Haidan. Tanganku tak henti-hentinya menstimulasi cairan lengket dari bawah sana. Netraku bahkan tidak lepas dari paras tampan Haidan yang memejam dan menggeram berat akibat perbuatanku.
Haidan dengan segala ekspresi puas yang terpatri jelas pada raut mukanya membuatku merasa di atas awan. Pun, aku akan tertawa dengan pongah di hadapan seluruh wanita dimuka bumi yang tidak bisa menyentuh Haidan, yang tidak bisa mendengar lenguh dan desah berat Haidan, yang tidak bisa melihat raut kepuasan bersamaan dengan kepasrahan Haidan.
Aku adalah pemenangnya. Pemilik sah Haidan, luar dan dalam.
“I'll start now, lemme ride you, babe.”
“As your command, my Queen.“
Kemudian deru napas kami memburu di tengah geram dan desah yang saling bersahut-sahut satu sama lain. Aku mengangkat kepalaku menahan gejolak kenikmatan yang aku rasa sampai ke perut manakala tubuh kami menyatu sempurna.
Tanganku bertumpu pada dada bidang Haidan, aku lantas bergerak. Membuat ritme genjotan dengan lembut dan perlahan. Kami berdua menghirup napas dengan tamak sambil menyerukan nama masing-masing.
Pesona Haidan tak luput dari jangkauan netraku. Ku perhatikan lamat-lamat tiap-tiap inci paras priaku yang rupawan yang sarat akan peluh yang menetes di permukaan kulitnya. Rupawan, sangat rupawan. Haidan nyaris sempurna bagiku.
Haidan adalah surga dunia.
“It's really good, Vallerie.” “Ah … fuck, too tight.*”
Haidan melenguh, mencela, menggeram dengan tangan kekarnya yang masih setia menjamah buah dadaku yang bergerak mengikuti ritme pinggulku yang kian lama kian meningkat semakin cepat.
“Ah … Haidan ….“
“Perfect, you're perfect.“ “My pretty, Vallerie. My Queen.“
Aku bersemu merah dengan mataku yang sayu mendengar segala puja-puji yang dilayangkan Haidan untukku. Darahku berdesir hebat dengan degup jantung yang kian lama kian terasa kencangnya. Aku dibuat sakit kepala oleh rintih dan puja-puji yang keluar dari mulut Haidan.
Aku tertunduk menatap Haidan lekat dari atas sini. Haidan menggeram frustasi manakala aku memperlambat gerakan pinggulku dan membuat gerakan memutar seakan mengurut kejantanan Haidan di dalam sana.
“Fuck … Vallerie ….“
“Yes, honey.“
“Jangan main-main.”
“Kan enak kalo gini.”
“Argh, fuck ….“
“Yes, you already fucked me, baby.“
Haidan lantas bangkit dan mendudukan tubuhnya tanpa melepas senggama kami. Priaku meraih tubuhku agar mendekat dan memelukku erat. Aku melenguh keras-keras, kakiku melingkar di antara penggulnya dengan kuat-kuat. Posisi seperti ini sukses membuat kejantanan Haida merojok inti tubuhku semakin dalam.
Kami berpelukan dengan peluh yang menetes kian deras dan kulit yang saling bergesekan. Haidan menggerakan pinggulnya membuat diriku berjengit dan menengadahkan menahan pening kenikmatan.
Aku adalah ratunya tapi Haidan adalah pemilikku.
Satu-satunya lelaki yang berhasil membuatku berpasrah dal rengkuh dan kungkungannya, satu-satunya lelaki yang membuatku mendesah sembari memejam sebab perlakuannya, satu-satunya lelaki yang benar-benar membawaku merasakan surga dunia dengan segala kenikmatannya.
“Pretty … I like when I feel you inside me, I like to hear your moan, I like when you hug me like this. I like everything about you. I love you, I love you, I love you, harder, Queen.“
Aku hanya bisa mengeratkan pelukanku pada leher Haidan, menjambak surai hitamnya keras-keras manakala segala puja-puji yang ia bisikkan tepat pada runguku berhasil membuat nafsuku bergejolak dan membakar tubuhku.
“Ah, Haidan … Haidan … my love ….“
Aku berpasrah manakala Haidan semakin menggerakan pinggulnya dengan super cepat hingga membuat tubuhku tersentak-sentak. Suara khas decapan kami menggema diiringi dengan decitan ranjang yang menubruk dinding kamar kami.
“Ah … ah .. Haidan …“
“Uh … Vallerie, fuck— it's good to be true, really good.“
“Hah … love … it's almost, ah ….“ “Faster … faster … babe, fuck.“
“You should cum with me.”
Aku dan Haidan menggila. Mengejar pelepasan yang akan meledak dengan segala sumpah serapah dan lenguh kotor yang mengiringi kami. Dorongan itu semakin kuat dari dalam, aku bahkan bisa merasakan milik Haidan mengetat dan mengejang di dalamku. Tungkaiku membelit pinggul Haidan semakin erat. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulut kami berdua selain erangan dan lenguhan kotor yang menggema sedari tadi. Aku mengejangkan otot kewanitaanku, bersiap menumpahkan segala cairan cinta milikku di dalam sana. Gerakan kami berdua semakin membabi buta.
“Ah, Valerie.” “Fuck … Haidan ….“
Maka dengan napas yang sama-sama tersengal dan dalam tiga hentakan kuat yang dibuat Haidan, kami berhasil menjemput putih kami bersama-sama. Aku melenguh keras menyerukan kelegaan yang baru saja aku dapatkan. Haidan memelukku erat dengan pusat tubuh kami yang masih menyatu di dalam sana.
Napas kami memburu satu sama lain. Berlomba meraup oksigen sebanyak-banyaknya akibat permainan panas yang baru saja kami selesaikan.
Aku menghela napas panjang, mengusap surai Haidan yang masih bersembunyi dalam dadaku, kukecup puncak kepalanya pelan. Aku rasakan kecupan-kecupan kecil di sana.
“Thank you, I love you too.“
“Thank you, it's amazing, always.“
Kebiasaan rutin yang dilakukan Haidan ketika kami selesai bercinta adalah menghisap satu batang rokok merk favoritnya di balkon kamar. Sembari mendengarkan lagu-lagu CAS kesukaannya ketika aku tertidur akibat kelelahan. Aku bahkan sudah hafal di luar kepala lagu apa yang selalu Haidan putar ketika kami selesai bercinta: Heavenly milik Cigarettes After Sex— bahkan sudah aku hafal liriknya di luar kepala.
Cigarettes after sex: representative of Haidan's thing after we have a sex, Sexy, Haidan.
“Sayang, masuk. Dingin.”
Ketika aku terbangun dari tidur nyenyak, aku segera melangkah menghampiri Haidan di balkon kamar dan memintanya untuk kembali masuk dan tidur di sebelahku.
Haidan mengindahkan, aku lihat dia menyesap panjang sisa batang rokoknya dan menghembuskannya pelan sebelum kemudian bangkit dan berjalan menyusulku di tempat tidur.
Aku meringkuk masuk ke dalam dekapan Haidan, menyandarkan tubuhku pada dada bidangnya yang tidak tertutup sehelai kain pun.
Dengan senang hati dia meraihku agar lebih mendekat ke arahnya.
“Kamu tau apa yang paling aku syukuri dalam hidup aku selama ini?”
Suara serak milikku memecah keheningan di antara kami. Haidan menatapku dalam diam. Aku tersenyum sambil jemariku bermain-main di atas dada bidang Haidan.
“Kamu dan rumah ini.”
Haidan tersenyum simpul, kemudian mencuri satu kecupan singkat pada puncak kepalaku.
“Rumah ini ibaratkan pelindung buat aku, sayang. Rumah ini aku ibaratkan kamu. Aku berharap rumah ini akan selalu bisa jadi pelindung aku dan kamu— dan anak-anak kita nanti.”
“Semoga.”
“Aku berharap rumah ini nggak akan pernah dijual dan bakal terus ditempati sampai anak-anak kita udah besar, sampe kita punya cucu.”
Sudah pukul satu malam, dan kami masih setia dengan pikiran kami masing-masing. Haidan tidak banyak menanggapi jika kami sedang deep talk seperti ini.
“Ada kamu yang melekat dalam rumah ini dan segala sesuatu yang ada disini. Di setiap sudutnya, rumah ini akan selalu tentang kamu, dan kalaupun nanti suatu saat aku ditinggal kamu buat selama-lamanya, kamu pergi duluan, aku masih bisa ingat sama kamu karena rumah ini adalah kamu. Tapi aku berharap Tuhan manggil aku duluan karena aku nggak tau bakal jadi kayak apa kalo nggak ada kamu, sayang.”
“Sayang.”
Rengkuhan Haidan semakin mengerat, aku merasakan degupan jantungnya seketika berpacu cepat. Haidan memelukku cukup erat hingga membuat diriku tidak bisa bernapas. “Haidan sesek.”
Haidan akhirnya melonggarkan pelukannya, menatap netraku lekat-lekat. Batinku terenyuh seketika manakala aku mengarungi netra Haidan semakin dalam. Aku bisa melihat dengan jelas cinta Haidan kepadaku yang begitu besarnya. Dalam hal yang bersamaan, aku bisa melihat dengan jelas sorot ketakutan dalam netranya.
“Kalaupun nanti kamu pergi lebih dulu, aku mau pergi lima detik setelahnya. Kalau bisa aku mau minta sama Tuhan biar kita bisa ke surga sama-sama.”
Haidan melepas rengkuhannya, dan menurunkan posisi tidurnya kemudian kembali merengkuhku dan memelukku erat. Kepalanya ia tenggelamkan dalam ceruk leherku.
Jantungku seketika mencelos mendengar jawaban Haidan. Aku sendiri bahkan sama sekali tidak bisa membayangkan hidup tanpa Haidan. Haidan adalah jiwaku, Haidan adalah nyawaku. Aku mati jika Haidan pergi.
Sayup-sayup aku mendengar isak tangis yang berasal dari priaku. Haidan menangis dalam diam di dekapanku. Rasanya benar-benar menyesakkan manakala aku tersadar bahwa suatu saat nanti pasti akan ada perpisahan di antara kami, manakala aku kembali mengingat perihal maut dan kehendak Tuhan di masa depan.
Aku merasa Haidan sama takutnya denganku.
Satu-satunya penyebab perpisahan yang tidak bisa terelakkan adalah karena kehendak Tuhan.
Aku mengelus puncak kepala Haidan pelan sambil memberi banyak kecupan di atas sana manakala aku merasa isakan Haidan semakin teratur dengan bahunya yang bergetar.
“Semoga kita diberi waktu sampai tua nanti, sampai kita punya cucu dan cicit. Walaupun kita harus berpisah di dunia, semoga di akhirat nanti kita dipersatukan lagi sama Tuhan.”
Lantas aku mendengar isakan Haidan semakin kuat dengan rengkuhan yang semakin erat seakan tidak rela melepaskan diriku barang sejenak. Aku mengusap bahu Haidan yang bergetar hebat, berusaha menenangkan bersamaan dengan air mataku yang juga kian lama kian menetes membasahi pipi.
Tuhan, tolong kabulkan semua doa dan harapanku.