The last.

Sudah tiga puluh menit berlalu kedua adam dan hawa ini hanya berdiam diri di ruang tamu di rumah milik Zaenal. Nata dan Zaffran hanya saling diam dan duduk bersebrangan di sofa besar di rumah tersebut. Kebetulan saat Zaffran datang rumah sedang tidak ada orang. Zaenal pergi ke kantor dan Jiro sudah pulang ke rumah Dinda sejak kemarin. Dan disinilah hanya tersisa Nata dan Zaffran.

Sedikit ada kecanggungan di antara keduanya. Padahal seminggu belakangan ini Zaffran sering bolak balik menemui Nata tetapi saat itu di rumah Nata sedang ada Jiro ataupun Zaenal, dan Zaffran mengunjungi Nata hanya sebentar.

“Nat-” “Zaff-”

Seketika suasana canggung diantara keduanya kian bertambah. Nata mengedarkan pandangannya ke segala arah kecuali pada Zaffran, dan Zaffran hanya mampu terdiam seakan lidahnya kelu tak bisa mengucapkan apapun.

“How you feel now?” Akhirnya Nata kembali membuka suaranya, Zaffran menatap Nata intens kemudian menghela nafasnya pelan. Sungguh rasa sesak itu kembali datang saat pertanyaan itu keluar dari mulut Nata secara langsung. Kemudian dia menggeleng lemah, menunduk tak berani menatap Nata.

Tanpa ia sadari Nata telah berjalan mendekat ke arahnya dan duduk tepat di sampingnya. Kemudian Nata dengan lembut menyentuh bahu Zaffran dan menariknya untuk menatap ke arahnya.

“Rent hug?”

Tanpa basa-basi Zaffran melingkarkan tangannya ke pinggung Nata dan menumpukan kepalanya di pundak Nata. Matanya terpejam menikmati elusan lembut tangan Nata di punggung dan kepalanya. Pelukannya semakin mengerat seakan tak mau melepaskan.

Sedetik kemudian Zaffran meneteskan air matanya diam-diam, kemudian mengatur nafasnya agar tidak terdengar isak tangisnya. Entah apa yang ia rasakan, seakan ia sedang menumpahkan segala resahnya pada Nata namun di sisi lain juga ia sangat merindukan pelukan hangat ini. Pelukan hangat yang tidak pernah ia dapatkan lagi beberapa bulan belakangan dan mungkin tidak akan pernah ia dapatkan kembali di masa mendatang. Membayangkan hal itu air mata Zaffran semakin menetes hingga membasahi pundak Nata.

“You did well Mas”

Maka air matanya semakin tumpah ruah bersamaan dengan segala keresahan dan kegundahan hatinya. Kini Zaffran menangis terseguk di bahu Nata, tak peduli baju Nata akan basah oleh air matanya. Yang jelas ia sangat amat merindukan sapaan itu, sapaan yang tak pernah ia dengar langsung keluar dari mulut Nata.

“Terimakasih karena sudah kuat ya Mas Zaffran, terimakasih juga sudah berani. Kamu hebat, kamu adalah laki-laki terhebat yang pernah aku tau”

Zaffran menggeleng acak di bahu Nata, ia semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Nata dan menangis kencang seperti anak kecil yang telah kehilangan permennya. Nata masih setia mengelus punggung dan puncak kepala Zaffran. Tanpa ia sadari air mata lolos begitu saja dari matanya namun ekspresi wajahnya tidak berubah, tetap datar dan tenang.

“Maaf” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Zaffran. Bagaimanapun juga Zaffran menyadari betul bahwa rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit yang di alami Nata karena ulahnya. Lagi dan lagi dia merasa sudah berdoa besar pada perempuan ini.

“Semuanya udah lewat Mas, dan aku udah ikhlas”

“Maaf Nat hari kamu jadi lebih berat karena aku. Maaf karena udah menorehkan luka di hati kamu. Maaf.. maaf..aku gak tau lagi mau ngomong apa selain maaf”

Nata beralih melepaskan pelukan Zaffran kemudian menatap Zaffran dengan tatapan teduhnya lalu kemudian tersenyum tenang.

“Sudah di maafkan”

Zaffran menunduk lagi kemudian meraih tangan Nata untuk di genggamnya. “N..Nat aku gak tau apa jadinya aku tanpa kamu Nata”

“Nat, a..aku aku gak bisa hidup kalo gak ada kamu”

Genggaman tangan itu semakin mengerat kala Nata melihat bahu Zaffran kembali bergetar naik turun.

“Tapi sebelum ada aku hidup kamu baik-baik aja Zaffran” Nata berkata lembut tapi secara bersamaan juga sangat menyayat hati Zaffran. Lelaki itu menggeleng lemah dengan bahu yang masih naik turun. Batin Nata bergejolak, dia mengadakan kepalanya berusaha menahan air matanya jatuh semakin deras, namun percuma saja kini mata Nata sudah menumpahkan semua apa yang ia bendung. Dada Nata merasakan sesak yang teramat kala ia melihat laki-laki didepannya ini menunjukan kelemahannya.

“N-nat tolong… tolong… kasih akunkesempatan lagi, sekali aja Nat” Zaffran mengangkat kepalanya, menatap Nata dengan maa merah penuh air mata. “Nat, izinin aku memgenal kamu dengan cara yang benar. Kasih aku kesempatan buat memulai kisah kita secara benar Nat”

“I love you Nat, I do really hard”

“I know” “But, I can't”

Nata mengehembuskan nafas pelan kemudian mengedarkan pandangannya ke segala arah, tak berani menatap Zaffran.

“Zaffran. Kita kenal dengan cara yang salah, dan kamu sudah menyakiti aku Zaff. Bahkan kalaupun aku mau, aku gak bisa. Aku gak bisa sama kamu karena itu akan menyakiti kita-”

“Enggak.. enggak Nata jangan bilang kayak gitu Nat, enggak” Zaffran kembali menggeleng acak ia mengecup tangan Nata yang berada di genggamannya berkali-kali. Rasanya memori paling menyakitkan dulu saat Nata pergi berlari meninggalkan perkarangan rumahnya seakan terulang kembali. Tangisnya pun sudah tidak ia tahan lagi, ia tumpahkan semuanya di hadapan perempuannya, menandakan penyesalan yang amat teramat dalam.

“Tolong Zaffran. Aku butuh waktu. Aku gak mau nyakitin kamu lebih lagi, karena nyatanya perasaan cintaku ke kamu tidak lebih besar daripada perasaan kecewaku, Zaff”

Zaffran semakin terisak keras dia terus saja menggeleng dengan mengucap kata tidak. Dada Nata semakin sesak di buatnya, sangat berat baginya untuk memutuskan semuanya tapi ia juga tidak boleh egois dengan perasaannya.

“Biarkan kita menyembuhkan luka masing-masing dulu Zaff.”

“Nata.. aku cinta kamu Nat” “J..jangan kayak gini”

“Kamu yang jangan kayak gini Zaff, tolong” Nata berkata lirih menatap Zaffran yang masih menunduk memeluk kedua tangannya yang digenggam. Nata berusaha melepas genggaman tangan Zaffran, namun semakin erat pula genggaman itu ia rasakan.

“Biar takdir dan Tuhan yang mempertemukan kita lagi”

Ucapan final Nata benar-benar membuat semua tembok pertahanan dan harapannya runtuh sesaat. Sudah tidak ada harapan lagi dengan hubungan mereka. Yang rusak sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Bagai pecahan kaca yang berusaha dirangkai menggunakan lem perekat namun tetap bekasnya masih ada, celahnya masih ada dan tidak dapat di tutupi oleh apapun.

Zaffran kian menangis dengan suara serak dan beratnya. Kemudian ia tumpukan kepalanya di bahu Nata. Nata meraihnya lalu mejatuhkan badannya pada Zaffran. Kedua insan ini memeluk dengan saling menangisi satu sama lain seakan ingin menikmati waktu terakhir sebelum perpisahan datang secara nyata. Sebelum dunianya meninggalkan pergi secara nyata.


©markablee