Hanjaya dan Zaenal
Kaki panjang berbalut celana linen hitam itu melangkah memasuki gedung merah putih. Sepatunya mengeluarkan suara ketukan kala bertabrakan dengan lantai yang ia pijak. Iya, ini adalah jadwal yang di buat secara khusus oleh Zaenal untuk mengunjungi Hanjaya di Rumah Tahanan KPK.
Sejak beberapa hari lalu dia mendapat kabar bahwa Hanjaya sudah ditangkap oleh KPK atas perbuatan suap dan penggelapan dananya, Zaenal sudah sangat berniat untuk menemui Hanjaya untuk berbicara dengannya.
Lelaki paruh baya itu duduk dengan menautkan jari-jarinya di meja menunggu kedatangan Liandra yang akan di dampingi oleh petugas.
Tak lama kemudian Zaenal menangkap eksistensi Hanjaya datang dengan rompi oranye yang melekat pada tubuhnya, tangannya di borgol dan wajahnya sangat kusut sekali, sangat jauh berbeda dengan Hanjaya di hari-hari biasanya.
Hanjaya terduduk tepat di depan Zaenal dan menyenderkan badannya ke kursi dengan mata menatap Zaenal tak bersahabat. Zaenal hanya diam membalas tatapan Hanjaya dengan datar.
“Ada perlu apa? Mau menertawakan kekalahan saya?” Akhirnya Hanjaya mengeluarkan suaranya, memulai obrolannya dengan Zaenal.
Zaenal mendecih tak percaya, “kamu Ini sebenarnya kenapa Jaya?”
“Apa yang kamu kejar sebenarnya?”
“Kehancuran kamu.” Dengan cepat Hanjaya menajwab pertanyaan Zaenal. Lalu mengulanginya nya sekali lagi dengan raut wajah tak sukanya.
“Kehancuran kamu, Zae.” “Tapi kenapa saya tidak bisa melakukannya? Kenapa saya selalu kalah dari kamu?”
Zaenal menghela nafasnya pelan. Baginya Hanjaya adalah orang paling naif yang pernah ia kenal. Hatinya selalu diliputi dengan ambisi dan selalu ingin berdiri di barisan paling depan dengan menyandang titel orang nomor satu. Namun sayangnya semakin dia berambisi semakin pula ia jauh dengan tujuannya. Karena dia tidak pernah puas dengan apa yang dia miliki, dia tidak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya.
“Kamu dapat apa dengan menghancurkan saya Jaya? Saya salah apa sebenarnya sama kamu?”
Hanjaya mendecih remeh masih menatap nyalang orang dihadapannya ini.
“Salah apa? Pertanyaan retoris macam apanitu Zae? Apa kamu tidak ingat perbuatan apa yang telah kamu lakukan pada saya saat acara reuni kita dua puluh tahun lalu?” “Disana kamu dan teman-temanmu merendahkan saya Zae. Kalian menertawakan saya dan bicara omong kosong bahwa saya tidak akan pernah bisa berhasil seperti kalian. Perusahaan kecil saya kalian hina, dan kalian tidak pernah ada merangkul saya ketika saya meminta bantuan pada kalian. Apa kamu lupa semua itu Zae?” “Dan juga kamu merebut Diana dari saya.”
Zaenal tertegun dengan perasaan campur aduk saat mendengar perkataan Hanjaya. Dua puluh tahun lalu adalah waktu yang sangat lama untuk Hanjaya menyimpan dendam dengan begitu dalam kepadanya. Ia seakan tidak percaya candaan dan lontaran kalimat remeh yang teman-temannya berikan ternyata berdampak buruk pada hidupnya saat ini dan membuat anaknya menjadi korban balas dendam teman lamanya ini. Padahal nyatanya saat itu ia tidak pernah sekalipun mengikuti teman-temannya untuk meremehkan Hanjaya, sekalipun tidak pernah ada terbesit satu niat pun untuk merendahkan teman lamanya ini, semuanya hanya salah paham.
Dan juga perihal Diana, istirnya. Lebih tepatnya mantan istrinya sekarang, ibu dari anak-anaknya. Sekalipun ia tidak merebut perempuan itu dari Hanjaya. Merek menjalin hubungan berbulan-bulan setelah Diana memutuskan hubungannya dengan Hanjaya.
“Zae, apa kamu akan terkejut saat saya bilang bahwa saya ikut andil dalam permasalahan rumah tangga kalian?”
Zaenal membelalakkan matanya sepersekian detik dengan alis mengkerut tidak percaya, tangannya mulai mengepal menahan emosi. Hanjaya yang melihat itu hanya mengeluarkan suara tawa meremehkan.
“Saya tidak menyangka kamu akan bertindak sejauh itu”
Kemudian tawa menggelegar memenuhi ruangan kunjungan itu. “Kamu hanya tidak pernah mengenal saya Zae”
“Dengar Jaya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak pernah sekalipun merendahkan kamu.”
“Anjing menggonggong nyaring bunyinya.” Lagi, Hanjaya tersenyum remeh sambil menatap Zaenal.
Merasa penjelasannya akan berakhir sia-sia Zaenal hanyabdapay menghela nafas lelah lalu sesaat kemudian raut wajah Zaenal berubah menjadi sinis dan menatap Hanjaya remeh. “Saya sudah coba menjelaskan semua kebenarannya” Kemudian dia memajukan badannya mendekat ke arah Hanjaya lalu menautkan jemarinya diatas meja dan beralih tersenyum remeh menatap lawan bicaranya itu.
“Jaya, saya bisa saja dengan mudahnya melaporkan penipuan yang telah kamu dan anak kamu lakukan pada putri saya.”
“Saya sangat marah besar kepada kamu dan anak-anak mu yang telag memainkan perasaan putri saya. Putri saya tidak ada sangkut-pautnya dengan ini Hanjaya.” “Kamu tidak tahu bagaimana marahnya saya saat putri saya datang ke hadapan saya, menangis karena ulah anak kamu” Lalu ucapan Zaenal berhenti sejenak.
“Dan kamu tahu apa Jaya? Faktanya anakmu sendiri yang datang kepada anak kedua saya untuk memberikan file gelap perusahaan milikmu”
“Dan saya tidak perlu repot-repot mengotori tangan saya hanya untuk membalas perbuatan kamu pada putri saya”
Hanjaya menggeram marah tangannya yang diborgol mengepal kuat. “Apa?” Sementara Zaenal masih menyunggingkan senyum remehnya.
“Sekarang apa Jaya? Kamu malah tidak di hormati oleh anak kandung kamu. Itu karena apa? Itu karena keegoisan dan ketamakan mu” Zaenal menekankan semua kalimat yang keluar dari mulutnya. Hanjaya berdecih kasar. Seandainya saja tangannya tidak di borgol. Ia mungkin sudah menjatuhkan tinju pada muka Zaenal.
“Apa perlu saya tambah hukuman kamu?” Zaenal mengadakan kepalanya seakan berpikir dengan senyum sinis masih terpatri di wajahnya. Lalu kemudian kembali menatap Hanjaya dihadapannya.
“Tapi tidak. Saya tidak akan melakukan cara yang sama seperti kamu. Saya masih manusia dan saya masih punya hati nurani.” Zaenal terdiam sebentar menimang kata apa yang harus ia keluarkan setelahnya.
“Pada akhirnya kamu jatuh ditangan anak-anak mu sendiri”
Hanjaya menggebrak meja tak tahan lagi. Ia terlalu marah menerima kenyataan bahwa apa yang rival-nya katakan ini adalah semuanya benar, ia membenci semua fakta itu.
Zaenal terkekeh kemudian bangkit dari duduknya, lalu merapikan jas yang ia kenakan dan berjalan mendekati Hanjaya kemudian menepuk pundaknya pelan dan berbisik
“Selamat menjalankan hukuman, Hanjaya”
; markablee